Bogordaily.net – Arus globalisasi yang demikian kuat di satu sisi mendatangkan efek positif bagi perkembangan Ilmu pengetahuan dan teknologi yang memudahkan manusia dalam banyak hal, namun di sisi lain arus ini menjadi ancaman yang besar yang salah satunya berupa terkikisnya identitas dan integritas moral bangsa.
Kecanggihan teknologi hari ini memudahkan akses informasi bagi siapa saja, hingga nyaris tanpa ada sekat-sekat yang membatasi. Tekhnologi komunikasi dan informasi menjadi sarana pendukung bagi dunia barat untuk melancarkan perang pemikiran dan budaya terhadap dunia timur, khususnya umat Islam.
Dengan berbagai tayangan dan informasi kaum remaja diperkenalkan dengan trend-trend baru ala Eropa yang akhirnya mengikis nilai-nilai ketimuran yang sarat dengan norma. Untuk perkembangan selanjutnya serangan pemikiran ini berefek kepada kehidupan sosial masyarakat. Sehingga, hari ini kita menemukan begitu kompleksnya permasalahkan yang terjadi di tengah masyarakat, terutama krisis moral dan integritas.
Tidak bisa dipungkiri bahwa neo-kolonialisme dalam wujud “westernisasi” masih akan terus berlangsung dan mengancam. Masyarakat mau tidak mau dipaksa mengkonsumsi suguhan racun budaya dan pemikiran lewat berbagai media informasi dan teknologi yang semuanya sarat dengan berbagai misi tersembunyi.
Revolusi teknologi media informasi dan transportasi telah merubah dunia yang demikian luas menjadi hanya sebesar sebuah desa (Global Village). Globalisasi merupakan suatu proses pengintegrasian ekonomi nasional bangsa-bangsa ke dalam suatu sistem ekonomi global, juga merupakan proses kebudayaan yang ditandai dengan adanya kecenderungan wilayah-wilayah di dunia, baik geografis maupun fisik, menjadi seragam dalam format sosial, budaya, ekonomi, dan politik.
Di sisi lain, era globalisasi yang ditandai dengan inovasi dan perkembangan teknologi informasi, memungkinkan setiap orang untuk memanfaatkan informasi untuk memudahkan dan mengembangkan setiap usaha dan aktivitasnya, tidak terkecuali dalam menjalankan aktifitas hidup sebagai impelementasi ajaran agama yang dianut.
Pada aspek realitas sosial, proses global telah memunculkan dan menciptakan egalitarianism, di bidang budaya yang memicu munculnya internationalization of culture, di bidang ekonomi menciptakan saling ketergantungan dalam proses produksi dan pemasaran, dan di bidang politik menciptakan liberalisasi.
Jika ditinjau dari sejarah perkembangan ekonomi, globalisasi pada dasarnya merupakan salah satu fase perjalanan panjang perkembangan kapitalisme liberal. Era globalisasi dapat menjanjikan pertumbuhan ekonomi secara global dan akan mendatangkan kemakmuran global bagi semua.
Globalisasi sesungguhnya adalah kelanjutan dari kolonialisme dan developmentalisme sebelumnya. Singkatnya, era globalisasi telah membawa manusia pada kemajuan peradaban, yang ditandai dengan penemuan baru dan kemajuan di berbagai bidang.
Secara praktis manusia dibuat mudah oleh berbagai temuan modern, diantaranya menciptakan kemungkinan bagi perbaikan taraf kehidupan manusia, mengangkat penderitaan fisik dan meringankan beban berat kehidupan.
Di era ini telah menghilangkan jurang pemisah atau tempat bagi semua umat manusia di segala penjuru dunia, di mana setiap individu dapat mengakses secara mudah perkembangan dan penemuan ilmu pengetahuan yang bergerak cepat seiring dengan laju perkembangan zaman.
Pada kontek kehidupan keagamaan manusia, perubahan sosial yang begitu keras, dramatis, telah menjadi persoalan yang dihadapi agama. Salah satu persoalan krusial sebagai dampak proses globalisasi yang terkait dengan kehidupan keagamaan adalah makin menipisnya ruang religiusitas dalam kontek kehidupan manusia.
Temuan-temuan empiric dan perkembangan pengetahuan menghadapkan manusia pada kesadaran baru terhadap realitas, seakan semakin mengokohkan keyakinan terhadap superioritas manusia yang potensial menyingkirkan keyakinan terhadap kekuasaan Tuhan.
Hal yang sebelumnya dianggap sebagai misteri Tuhan, satu persatu telah jatuh ke tangan manusia melalui eksperimen yang mereka lakukan, maka tak aneh jika agamapun semakin pudar bahkan semakin kehilangan signifikansi dan peranannya ditengah kehidupan manusia.
Agama sejatinya merupakan tatanan kehidupan yang mengintegrasikan manusia dalam kehidupan masyarakat. Agama secara empiris mampu memainkan peran sebagai factor motivasi dan dinamisator.
Etika Komunikasi Dakwah
Kata etika berasal dari kata “ethos” (bahasa Yunani), dalam bahasa Inggris “ethics” yang berarti karakter, watak kesusilaan atau adat (costum). Ethic (bahasa Inggris) berarti etika, tatasusila, ethical berarti etis, pantas, layak, beradab, susila.
Sebagai suatu subyek etika akan berkaitan dengan konsep yang dimiliki oleh individu ataupun kelompok untuk menilai apakah tindakan-tindakan yang telah dikerjakannya salah atau benar, buruk atau baik.
Secara terminologis, menurut Ahmad Amin, etika berarti ilmu yang menjelaskan arti baik dan buruk, menerangkan apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia, menyatakan tujuan yang harus dituju oleh manusia di dalam perbuatan mereka, dan menunjukkan jalan yang seharusnya diperbuat.
Secara lebih spesifik, Ki Hajar Dewantara mengartikan etika, sebagai ilmu yang mempelajari soal kebaikan dan keburukan dalam kehidupan manusia, terutama yang berkaitan dengan gerak-gerik pikiran dan rasa yang merupakan pertimbangan dan perasaan, sehingga dapat mencapai
tujuannya dalam bentuk perbuatan”.
Fran Magnis Suseno, mengatakan terdapat sekurang-kurangnya empat alasan mengapa etika diperlukan, yaitu:
a)Kita hidup dalam masyarakat yang semakin pluralistik, juga dalam bidang moral dan untuk mencapai suatu pendirian dalam pergolakan pandangan-pandangan moral maka refleksi kritis etika diperlukan.
b)Kita hidup dalam masa transformasi masyarakat yang tanpa tanding. Perubahan itu dibawa hantaman kekuatan yang mengenai semua segi kehidupan kita, yaitu gelombang modernisasi.
Dalam kondisi seperti ini etika mau membantu agar kita jangan kehilangan orientasi, dapat membedakan antara apa yang hakiki dan apa saja yang boleh berubah, dan dengan demikian tetap sanggup untuk mengambil sikap yang dapat kita pertanggungjawabkan.
c)Tidak mengherankan bahwa proses perubahan sosial budaya dan moral yang kita alami ini dipergunakan oleh pelbagai pihak untuk memancing di air keruh.
Etika dapat membuat kita sanggup untuk membentuk penilaian sendiri, agar kita tidak terlalu mudah terpancing.d)Etika juga diperlukan oleh kaum agamawan yang disatu pihak menemukan dasar kemantapan mereka dalam iman kepercayaan mereka, dipihak lain sekaligus mau berpartisipasi tanpa takut-takut dan dengan tidak menutup diri dalam semua dimensi kehidupan masyarakat yang sedang berubah.
Dalam konteks masyarakat multikultural, etika komunikasi dakwah harus mendapat perhatian sungguh-sungguh dan serius jika ingin pesan dakwah yang disampaikan mendapatkan respon positif dari khalayak. O
leh karena itu, dalam berdakwah da’i harus memperhatikan nilai-nilai yang hidup dan berlaku di tengah masyarakat atau komunitas tertentu serta mengetahui mana perilaku yang dibenarkan dan yang tidak dibenarkan, yang pantas dan tercela menurut ukuran masyarakat dimana dakwah itu disampaikan.
Seperti dikatakan Ismail,7 dalam masyarakat pluralistik (seperti masyarakat Indonesia) perlu dihindari penyajian materi, tema atau pesan-pesan dakwah yang dapat menimbulkan terjadinya gangguan SARA (suku, agama, ras dan antargolongan).
Menurut Amir,8 “etika komunikasi mengacu pada pengertian bagaimana berkomunikasi yang sesuai dengan nilai-nilai yang berlaku di tengah masyarakat atau golongan tertentu. Pengertian seperti ini tentu tidak saja diukur dari nilai keyakinan atau agama masyarakat itu sendiri, tetapi juga diukur dari nilai-nilai adat – istiadat yang berlaku dalam masyarakat”.
Dakwah hendaklah disampaikan dengan cara yang baik, bijak, penuh hikmah dan bermuatan pelajaran yang berharga. Dakwah akan sampai kepada jama’ah manakala penyampaian materi dakwah dikemas dengan seni dan teknik berkomunikasi yang cerdas dan bisa memikat jama’ah.
Da’i sejatinya adalah seorang komunikolog yang membawa pesan-pesan Ilahiah untuk disampaikan kepada umat (jama’ah). Pemahaman dan pengetahuan akan etika komunikasi dakwah bagi seorang da’i menjadi sesuatu yang penting dan mutlak dimiliki, terlebih pada masyarakat multikultural yang dinamis dan terbuka (seperti Indonesia).
Masyarakat Dakwah Di Era Globalisasi
Sebelum berbicara lebih jauh lagi tentang karakteristik masyarakat dakwah di era globalisasi informasi saat ini, perlu terlbih dahulu upaya memahami esensi dan eksistensi globalisasi informasi beserta dampaknya terhadap perubahan masyarakat yang ada didalamnya.
Tidak dapat dipungkiri aktivitas dakwah ditengah era globalisasi yang terus berlangsung di tengah masyarakat yang dicirikan oleh multikulturalisme dan sarat dengan berbagai kompleksitas budaya, menuntut pelaku dakwah (da’i, ustadz, kyai, buya) untuk terus melakukan inovasi dan adaptasi metodologis, pendekatan, kemasan serta adaptasi pola pemahaman terhadap dasar-dasar tekstual untuk menghadirkan Islam yang kontekstual dan bisa diterima sebagai pedoman etis, dalam menjalani aktifitas budaya yang bersesuaian dengan nilai-nilai etis yang diajarkan oleh Islam sebagai metode kehidupan.
Etika komunikasi dakwah harus mempertimbangkan karakteristik mad’u atau jama’ah yang berkaitan dengan budaya, bahasa, adat-istiadat, sistem simbol dan juga harus mengetahui hal-hal yang dibolehkan dan dilarang, mengetahui perkataan dan perbuatan yang terpuji dan tercela dimana dakwah disampaikan.*
(Doni Ramadhani, Mahasiswa Bimbingan dan Konseling Islam Institut Ummul Quro Al-Islami Bogor Kelas Kerja Sama Qotrun Nada Depok dan Faisal Rachmat, S.Psi., MA. Dosen Bimbingan Dan Konseling Islam Institut Ummul Quro Al-Islami Bogor)
Copy Editor: Riyaldi
Simak Video Lainnya dan Kunjungi Youtube BogordailyTV