Saturday, 23 November 2024
HomeBeritaSepak Terjang Rizal Ramli di Pendidikan dan Reformasi Perbankan

Sepak Terjang Rizal Ramli di Pendidikan dan Reformasi Perbankan

Bogordaily.net – Sepak terjang Dr Rizal Ramli bergulir sejak muda sebagai seorang aktivis hingga akhirnya menjadi tokoh berpengaruh dalam kancah perpolitikan, pendidikan dan ekonomi dunia. Bahkan, ia mendapat sebutan khusus ‘ekonom tangguh’ dari Wakil Presiden Jusuf Kalla.

Perjuangan Rizal Ramli berujung pada pemberlakuan sistem pendidikan dan reformasi perbankan. Dia juga kerap mengkritisi kebijakan yang tidak pro rakyat.

Rizal Ramli menceritakan perjalanan panjang hingga membalikkan alumnus jurusan Teknik Fisika Institut Teknologi Bandung (ITB) itu menjadi ekonom kawakan yang disegani di dalam maupun di luar negeri.

Ia membeberkan liku-liku perjuangannya dalam memperjuangkan kesejahteraan rakyat.

Begitu menyelesaikan pendidikan di Boston University, Rizal Ramli pulang dan didapuk sebagai Pemimpin Redaksi Majalah Prisma, majalah intelektual Indonesia yang diterbitkan oleh LP3ES. Sekitar satu tahun ia berada di sana.

Kemudian, dia diajak bergabung dengan sebuah lembaga studi, think thank, kerja sama antara Harvard University dengan Departemen Keuangan.

Kerjanya yaitu melakukan monitoring sosial pembangunan, termasuk yang paling penting yaitu melakukan reformasi BRI Unit Desa. Kata mantan Menko Perekonomian itu, dulu ada 3600 unit desa di seluruh Indonesia yang tugasnya mendistribusikan kredit Bimas untuk padi.

“Kemudian Bimas dianggap berhasil dan program Bimas itu mau dihapus. Pemerintah waktu itu memikirkan untuk menutup 3600 unit desa di seluruh Indonesia tersebut. Lantas kami mengusulkan jangan dihapus. Lebih baik menggunakan kesempatan itu untuk melakukan reformasi BRI Unit Desa.Kita menciptakan produk kredit umum pedesaan, dan program Simpedes, Simpanan Pedesaan,” ujarnya, dikutip dari TimesIndonesia, Senin 20 Desember 2022.

BRI Unit Desa, katanya, sejatinya menguntungkan. BRI Unit Desa itu merupakan program yang paling bagus di dunia waktu itu. Karena aset dari BRI itu hanya 10 persen namun dia memberi keuntungan sebesar sepertiganya dari keuntungan perusahaan.

Karena itulah tokoh Bangladesh, Muhammad Yunus ke Indonesia dan belajar BRI Unit Desa yang ada di Indonesia. Kemudian dia mendirikan Grameen Bank di negara Bangladesh, yaitu program untuk memberikan pinjaman kepada mereka yang tidak mempunyai tanah.

Namun cara bisnisnya menggunakan cara bisnis dari BRI Unit Desa. Grameen Bank akhirnya menjadi sangat populer di Bangladesh dan karena itu Muhammad Yunus meraih Nobel bidang Kemanusiaan.

Kemudian mantan penasihat Fraksi ABRI di DPR RI itu dibujuk oleh seorang teman di WALHI, Zulkarnain, namanya. Mereka melakukan penelitian tentang “Deforestasi dan Kerugian Ekonomi”.

“Kami melakukan studi yang pertama tentang dampak deforestasi bagi perekonomian waktu itu. Hasil dari studi ini kemudian kami terbitkan dan menjadi cover story berbagai majalah. Dan hasil studinya juga digunakan oleh Bank Dunia untuk melaporkan tentang deforestasi di Indonesia,” kenang Rizal Ramli.

Dikutip dari TimesIndonesia, pada awal tahun 1990-an, Bang RR bersama beberapa teman mendirikan kelompok studi, ECONIT yang menjadi think thank dalam bidang ekonomi.

Mereka setiap bulan menerbitkan laporan setebal 100 halaman, tentang ramalan (forecest) ekonomi ke depan. Hasil laporan tersebut menjadi referensi utama berbagai kalangan industri, perbankan maupun pemerintah.

Pada 1975, karena keikutsertaan dalam kompetisi menulis, Rizal Ramli berkesempatan mengikuti short-course di Asian Studies Shopia University Tokyo Jepang. Selama di Jepang, ia menyaksikan sebuah negara pasca-perang dunia kedua yang berkembang pesat menjadi raksasa ekonomi dunia.

Meskipun negara ini tidak memiliki modal sumber daya alam, tetapi kualitas sumber daya manusianya sangat kompetitif di level global. Pendidikan dinilainya menjadi modal penting Jepang dalam membangun perekonomian negara tersebut.

Melihat kehebatan Jepang tersebut, Rizal Ramli tergugah melihat kondisi di tanah air. Sepulang dari Jepang, Rizal dan sahabatnya mahasiswa ITB Adi (Irzadi Mirwan) memutuskan untuk berkeliling ke beberapa tempat di Indonesia, khususnya di utara Pulau Jawa, Bali di Utara hingga Lombok, untuk menyaksikan kondisi rakyat secara langsung.

Rizal menyaksikan sendiri ketimpangan ekonomi dan banyaknya anak Indonesia yang tidak mampu sekolah. Di Indonesia, waktu itu, belum ada peraturan tentang usia wajib belajar. Sementara di Jepang, mereka memiliki ketentuan wajib belajar sejak restorasi Meiji 1868.

Pada suatu sore, Rizal Ramli dan temannya ke pantai dan mendapati seorang nelayan. Kemudian mereka memutuskan untuk melaut bersama sang nelayan dan seorang anaknya.

Nelayan itu memiliki seorang anak, Sugriwa, yang bertugas membantu menaikkan ikan ke rumah di tengah laut, atau yang biasa disebut bagan.

Mereka bekerja semalaman suntuk, namun hasilnya tidak seberapa. Mereka hanya berhasil menangkap ikan sebanyak dua ember kecil.

Sugriwa, seorang anak berusia Sekolah Dasar, menjadi inspirasi bagi Rizal Ramli. Anak seusia itu seharusnya belajar di sekolah, namun karena ketiadaan biaya, dia terpaksa harus meninggalkan sekolah dan membantu sang ayah.

Setelah dipelajari, ternyata ada 8 juta anak usia SD yang tidak bisa belajar di seluruh Indonesia. Semuanya tiada lain karena ketiadaan biaya.

Karena itu, sejak itu, Rizal Ramli bersama teman-temannya mulai memperjuangkan wajib belajar 6 tahun. Mereka mendesak pemerintah agar segera memberlakukan aturan tersebut. Mereka berjuang baik melalui tulisan, aksi hingga demonstrasi di lapangan.

“Saya meminta bantuan WS Rendra dan sutradara terkenal Sumanjaya untuk membuat film. Akhirnya jadilah sebuah film dengan judul ‘Yang Muda Yang Bercinta’. Film itu mengisahkan percintaan di kampus dengan latar belakang mahasiswa yang memperjuangkan gerakan wajib belajar. Jadi, kami memadukan gerakan bukan hanya dengan studi tapi juga dibarengi dengan gerakan budaya,” ujar mantan Menko Kemaritiman ini.

Rizal Ramli juga mengorganisasi sebuah demonstrasi di ITB. Waktu itu, Rendra membacakan puisi yang sangat terkenal dengan judul “Sebatang Lisong”.

Akhirnya setelah tiga tahun berjuang, gerakan yang disebutnya “Gerakan Anti Kebodohan” itu mendapat perhatian dari pemerintah dengan menggolkan UU Wajib Belajar 6 Tahun.

“Akhirnya 8 juta anak bisa diselamatkan dan bisa bersekolah,” ujarnya.***

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here