Bogordaily.net – Beberapa waktu lalu, seorang wanita 21 tahun diduga hendak bikin konten dengan berpura-pura gantung diri (Gandir), malah tewas beneran terjerat kain di sebuah rumah kontrakan di Kampung Warnasari Desa Cibeber I, Kecamatan Leuwiliang.
Akibat aksinya tersebut, membuat beberapa pihak turut prihatin dan mengomentari kejadian tersebut. Salah satunya seorang Psikolog asal Bogor, Retno.
Sebagai seorang wanita sekaligus Psikolog, Retno turut berduka atas peristiwa konten gandir di Leuwiliang.
“Kalau kami lihat ini karena adanya kecenderungan ingin viral, pada beberapa kasus merupakan dan dorongan ingin ngetop,” ungkap Retno ketika dikonfirmasi wartawan, Minggu 5 Januari 2023.
Untuk mencapai tujuannya kata Retno, kadang individu memakai ide ide yang tidak masuk nalar.
“Bisa jadi dorongan pribadi narsistik. Merasa dirinya paling penting, paling ingin diakui kehebatannya,” ucapnya.
Namun masalahnya saat melihat tayangan yang negatif, otak akan menyimpan hal tidak biasa, setelah itu otak akan bereaksi dengan mengulang mencari tayangan yang sama.
“Itu sebabnya justru otak mencari lagi dan lagi, seharusnya perlu pendampingan dari keluarga maupun orang terdekat disekitarnya,” jelasnya.
Bahkan idealnya orang tua mendampingi anak saat membuka Channel, sehingga dapat menetralisir apapun konten atau tayangan dilihat dengan mendiskusikan bersama.
“Mungkin bisa memberi contoh dan melakukan pendampingan saat anak terlihat menonton konten muatan kekerasan atau sara,” ungkapnya.
Selain orang tua, sekolah dan warga masyarakat juga dapar membantu memberikan edukasi, pengarahan agar anak memiliki konsep yang benar.
Bahkan Untuk usia belasan, faktor teman berperan penting jika teman dalam kelompoknya memberi ide tentang sesuatu hal yang negatif.
“Maka sebagai Anggota akan merasa tak enak jika tidak ikut dengan ide tersebut, Ini yang membuat anak merasa harus memenuhi ketentuan grup,” tegasnya.
Dia juga menambahkan sebenarnya pendampingan dilakukan sampai usia 18 tahun, setelah itu bentuk pendampingan orang tua lebih ke mentoring.
“Jadi memberi anak kebebasan tapi tetap mengarahkan agar tetap pada jalur yang sesuai norma agama, hukum, sosial,” kata Retno.
(Ruslan)