Bogordaily.net– Siapa Sapardi Djoko Damono yang jadi Google Doodle hari ini, Senin, 20 Maret 2023? Jika Anda membuka laman Google akan muncul sosok pria sambil membawa payung di bawah rintiknya hujan. Tertulis keterangan Ulang Tahun ke-83 Sapardi Djoko Damono. Lalu siapa Sapardi Djoko Damono? Berikut profil dan biodatanya.
Djoko Damono lahir di Surakarta atau Solo pada 20 Maret 1940. Ia meninggal dunia pada 19 Juli 2020.
Sapardi Djoko Damono dikenal sebagai pujangga berkebangsaan Indonesia dan merupakan putra pertama pasangan Sadyoko dan Saparian, sebagaimana dilansir dari Wikipedia.
Sapardi dikenal melalui berbagai puisinya mengenai hal-hal sederhana tetapi penuh makna kehidupan, sehingga beberapa di antaranya sangat populer, baik di kalangan sastrawan maupun khalayak umum. Dalam dunia kesastraan Indonesia, Sapardi kerap dipandang sebagai sastrawan angkatan 1970-an.
Ia menghabiskan masa muda di Surakarta dan jalur pendidikan dasar ditempuhnya di SD Kesatryan Keraton Surakarta, SMP Negeri 2 Surakarta (lulus 1955) dan SMA Negeri 2 Surakarta (lulus 1958).
Ia sudah menulis sejumlah karya yang dikirimkan ke majalah-majalah. Kesukaannya menulis ini berkembang saat ia menempuh kuliah di bidang Bahasa Inggris di Jurusan Sastra Barat, Fakultas Sastra atau sekarang Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Setelah sempat menempuh studi di University of Hawaii, Honolulu, Sapardi menempuh program doktor di Fakultas Sastra UI dan lulus pada tahun 1989.
Baca Juga: Sapardi Djoko Damono Jadi Google Doodle Hari Ini
Selepas lulus kuliah tahun 1964, ia sempat menjadi pengajar pada Fakultas Keguruan Sastra dan Seni IKIP Malang di Madiun sampai 1968. Pada 1973, setelah sempat bekerja di Semarang, ia pindah ke Jakarta untuk menjadi direktur pelaksana Yayasan Indonesia yang menerbitkan majalah sastra Horison. Sejak 1974, ia mengajar di Fakultas Sastra (sekarang Fakultas Ilmu Budaya) Universitas Indonesia.
Sapardi kemudian ditunjuk sebagai Dekan Fakultas Sastra UI periode 1995-1999 setelah sebelumnya diangkat sebagai guru besar. Pada masa tersebut, Sapardi juga menjadi redaktur majalah Horison, Basis, Kalam, Pembinaan Bahasa Indonesia, Majalah Ilmu-ilmu Sastra Indonesia, dan country editor majalah Tenggara di Kuala Lumpur.
Setelah purnatugas sebagai dosen di UI pada tahun 2005, ia masih mengajar di Sekolah Pascasarjana Institut Kesenian Jakarta sambil tetap menulis fiksi maupun nonfiksi.
Sederet penghargaan telah diterimanya di antaranya Cultural Award (Australia, 1978), Anugerah Puisi Putra (Malaysia, 1983), SEA Write Award (Thailand, 1986), Anugerah Seni Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1990), Kalyana Kretya dari Menristek RI (1996), Achmad Bakrie Award (Indonesia, 2003), Akademi Jakarta (Indonesia, 2012), Habibie Award (Indonesia, 2016), dan ASEAN Book Award (2018).
Sajak-sajak Sapardi diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, termasuk bahasa daerah. Ia tidak saja aktif menulis puisi, tetapi juga cerita pendek. Selain itu, ia juga menerjemahkan berbagai karya penulis asing, menulis esai, serta menulis sejumlah kolom atau artikel di surat kabar, termasuk kolom sepak bola.
Beberapa puisinya sangat populer dan banyak orang yang mengenalinya, seperti “Aku Ingin” (sering kali dituliskan bait pertamanya pada undangan perkawinan), “Hujan Bulan Juni”, “Pada Suatu Hari Nanti”, “Akulah si Telaga”, dan “Berjalan ke Barat di Waktu Pagi Hari”.
Ia meninggal dunia pada 19 Juli 2020 di Rumah Sakit Eka BSD, Tangerang Selatan, setelah sempat dirawat karena penurunan fungsi organ tubuh. ***