Bogordaily.net – Pemerhati Sejarah Arief Gunawan memaparkan perbedaan intelektual dan politisi dalam mengubah Indonesia menjadi lebih baik.
“Kenapa partai politik menggunakan tukang survei berbayar, media berbayar dan buzzersRp sebagai pedoman dalam memilih calon presiden, sehingga masyarakat bisa terjebak lagi dalam kesalahan memilih pemimpin, seperti yang dirasakan saat ini?” ujar Arief.
Pertama kata Arief karena sistem kepartaian saat ini tidak memiliki mekanisme untuk menghasilkan kader yang bermutu. Partai-partai politik umumnya kini dikelola seperti perusahaan keluarga.
“Kedua karena partai-partai yang ada tidak ideologis, dalam arti tidak memiliki garis perjuangan yang jelas, ” sambungnya dilansir dari Pikiranmerdeka.com.
Arief menerangkan, mereka mencanggih-canggihkan calon presiden berdasarkan standar yang gampang dimanipulasi, seperti “kesantunan”, “kesederhanaan”, hingga “gaya sok merakyat” yang dibungkus pencitraan dengan tendensi hipokrit.
Sehingga menurut Arief misalnya orang masuk gorong-gorong dikultuskan sebagai Ratu Adil.
“Tanpa diketahui rekam jejaknya dalam demokrasi, hak asasi manusia, keberpihakannya kepada rakyat, dan kapasitasnya untuk jadi pemimpin, ” paparnya.
Lalu kenapa bisa terjadi? Arief menyebut hal ini karena tidak banyak intelektual yang berani bersuara untuk menjelaskan bahwa bangkrutnya negeri ini sekarang adalah akibat rekrutmen calon presiden seperti itu.
Di sisi lain Presidential Treshold 20 persen menutup peluang tampilnya sosok berintegritas untuk memimpin bangsa.
“Waktu Sukarno memulai karir politik di ta hun 1927 Indonesia hanya memiliki 78 orang lulusan HBS, ” ujarnya.
HBS (Hoogere Burgerschool) merupakan sekolah setingkat SMA. Sedangkan di tahun-tahun menjelang kemerdekaan, Indonesia hanya memiliki sekitar 400 orang lulusan sekolah tinggi.
Kebanyakan berasal dari sekolah kedokteran, selebihnya sarjana hukum, seperti Profesor Soepomo, Achmad Soebardjo, Ali Sastroamidjojo, dan beberapa nama lain.
“Mereka inilah, sedikit contoh dari sekian banyak tokoh pada masa itu, yang termasuk di dalam golongan intelektual, ” ungkapnya.
Arief juga mengatakan mereka mendisiplinkan diri dan mematangkan pengetahuan di dalam studi yang mereka pilih dengan menjauhi glamouritas, dan mengatur hidup menurut cita-cita serta peranan yang mereka idamkan.
“Mereka kemudian menjadi apostel (pencerah) bagi bangsanya sendiri. Produk mereka di antaranya Undang-undang Dasar ‘45, butir-butir Pancasila, dan komitmen terhadap persatuan bangsa, ” paparnya.
Sementara itu salah satu ciri yang menonjol dari mereka kata Arief ialah kemampuan dalam menciptakan konsepsi baru, kelincahan berpikir, dan kemampuan tak terbatas dalam mencari kebenaran.
“Pendidikan menjadi ukuran untuk memperoleh tempat penting selama masa pergerakan maupun pada masa revolusi dan sesudahnya. Hal ini jauh lebih penting daripada semangat dan rasa nasionalisme … ” kata sejarawan Onghokham dalam buku Rakyat dan Negara, ” jelasnya.
Terhadap golongan intelektual ini orang Belanda pada masa itu umumnya memandang sinis. Mereka misalnya mengatakan Sukarno sebenarnya seorang Indo atau punya darah Belanda, sebab tanpa hal itu tidak akan bisa menggerakkan bangsanya.
Arief juga menjelaskan tiga unsur pokok pemikiran kaum intelektual saat itu umumnya ialah anti-elitisme, anti-imperialisme dan anti-kolonialisme. Ketiga-tiganya sangat identik dengan nasib rakyat kecil.
“Dengan pengetahuan yang mereka miliki mereka menjadi pembaharu dan pembawa perubahan untuk kemajuan masyarakat, karena meyakini bahwa ilmu pengetahuan menuntun masa depan sebuah bangsa, ” katanya lagi.
Lebih lanjut ia memaparkan Sukarno, Hatta, Sjahrir, Husni Thamrin, Deuwes Dekker, Cipto Mangunkusumo, Ki Hadjar Dewantara dan beberapa nama lainnya, mendirikan partai politik setelah mengalami pergumulan intelektual, dan menempa diri dengan berbagai pengalaman yang mematangkan karakter mereka sebagai pejuang yang mendapatkan kepercayaan dari rakyat.
“Itulah sebabnya mereka mampu membangun partai ideologis yang memiliki garis perjuangan yang jelas, ” ungkapnya.
Ia pun menilai partai politik mereka gunakan sebagai alat perjuangan untuk membebaskan rakyat dari berbagai penindasan.
“Bukan sebagai alat transaksi seperti belakangan ini dipertontonkan dalam memilih calon presiden, dengan dukungan modal dari para bandar yang antara lain membiayai tukang survei berbayar, media berbayar dan buzzersRp sebagai suksesor, ” jelasnya.
Sementara itu tokoh nasional yang juga ekonomi senior Rizal Ramli mengatakan perubahan yang dipimpin oleh kalangan intelektual sangat berbeda dibandingkan dengan perubahan yang dipimpin oleh politisi.
“Pejuang kemerdekaan kita dulu umumnya tokoh-tokoh intelektual. Hasilnya bukan sekedar perubahan berupa kemerdekaan, tapi prinsip-prinsip dasar bernegara dan berbangsa yang dicapai dari kemerdekaan,” ujar Rizal Ramli di akun twitter-nya.
Nuansa Pilpres hari-hari belakangan ini memang tiada ubahnya dengan pasar malam, tempat dimana partai-partai politik datang untuk membuka lapak buat dagangannya masing-masing, karena pasar malam menyediakan transaksi dan perputaran uang yang menguntungkan.
Sedang rakyat apakah akan selamanya terseret dalam siklus euphoria Pilpres yang hanya akan menghasilkan pemimpin boneka oligarki jilid kedua? (Gibran/***)