Sunday, 29 September 2024
HomeEkonomiPermintaan Domestik Jadi Tumpuan, Jangan Khawatir Resesi Ekonomi Global

Permintaan Domestik Jadi Tumpuan, Jangan Khawatir Resesi Ekonomi Global

Bogordaily.net–  Resesi ekonomi global menjadi salah satu kekhawatiran pasca pandemi Covid-19. Disrupsi rantai pasok, gangguan suplai, gangguan distribusi barang dan jasa menjadi masalah baru dalam sisi perekonomian dunia. Hal ini berakibat pada inflasi di sejumlah negara besar merangkak naik signifikan, cenderung tidak terkendali dan liar.

Contoh Amerika Serikat (AS) dan Eropa mengalami tren inflasi yang terus menerus naik dan bersifat permanen seiring maraknya konflik dunia. Hal ini berdampak pada gangguan suplai dan produksi semakin luas. Lalu krisis energi dan pangan semakin nyata hingga menyebabkan kenaikan inflasi semakin tidak tertahankan.

Dalam empat puluh tahun terakhir, bahkan inflasi AS dan Eropa memecahkan rekor tertinggi, masing-masing sekitar 9% yoy (Juni 2022) dan 10% yoy (Oktober 2022).

Chief Economist BRI sekaligus Direktur Utama BRI Research Institute Anton Hendranata menilai, inflasi super tinggi dan tak terkendali telah direspons dengan kenaikan suku bunga acuan secara agresif dan signifikan oleh sebagian bank sentral di dunia. Pelopornya AS, diikuti Eropa, dan sebagian besar negara-negara berkembang.

Baca Juga: AgenBRILink Meningkat Pesat, Strategi Hybrid Bank Jadi Kunci

Konsekuensinya kata Anton, perekonomian global berada dalam risiko yang besar. Antibiotik suku bunga dengan dosis tinggi selama lebih dari dua tahun, menurutnya memang berhasil mematahkan tren kenaikan inflasi.

“Inflasi mulai turun terbatas. Namun, efek buruknya lebih mengkhawatirkan yaitu perekonomian global diambang resesi. Suku bunga tinggi, sangat membebani perekonomian dunia dan dunia usaha,” ujar Anton dalam siaran pers yang diterima Bogordaily.net, Kamis, 11 Mei 2023.

Selain itu juga menurunkan daya beli masyarakat secara signifikan. Bahkan beban bunga pinjaman tinggi menohok sektor riil, sektor perbankan, dan debitur, termasuk individual masyarakat yang sangat bergantung pada kartu kredit.

“Contoh nyata dari masalah tersebut telah terbukti lewat jatuhnya tiga bank AS yakni Silicon Valley Bank (SVB), Signature Bank, dan First Republic Bank,” ungkapnya.

Hal itu kata Anton, diakibatkan dari kenaikan signifikan suku bunga acuan Bank Sentral AS dari 0,25% menjadi 5%. Selain itu, tingginya suku bunga acuan AS mengakibatkan peningkatan suku bunga kredit perumahan, yang kemudian menyebabkan tingkat pengajuan kredit perumahan rakyat (KPR) turun signifikan.

Anton meminta agar penurunan kinerja sektor properti AS ini harus disikapi dengan hati-hati. Sebab, pertumbuhan private residential fixed investment turun secara signifikan, mendekati kondisi seperti krisis finansial global tahun 2009.

Akibat lain yakni kurva imbal hasil (yield) obligasi AS (US Treasury) kini telah mengalami inverted. Yield obligasi AS tenor 2 tahun lebih tinggi dari tenor 10 tahun.

“Belum lagi, berdasarkan penghitungan model Ekonometrika yang dibangun melalui metode Markov Switching Dynamic Model pada Juli 2022 menunjukkan bahwa probabilitas AS mengalami resesi ekonomi tahun 2023 sebesar 80%,” paparnya.

Angka probabilitas itu naik signifikan sembilan bulan kemudian (April 2023) menjadi 91%.

Melihat kondisi AS yang semakin sulit dan bangkrutnya tiga bank di AS kata Anton maka harus bijak dalam menyikapinya.

“Kita harus siap dengan kemungkinan terburuk AS akan jatuh terjerembap dalam resesi ekonomi, yang mungkin akan diikuti oleh Eropa, bahkan ada kemungkinan resesinya lebih cepat dibandingkan AS,” ujarnya.

Saat negara maju mengalami resesi, maka kata dia akan sulit negara berkembang terhindar dari resesi ekonomi dunia.

“Apalagi dalam kebijakan moneternya, menaikkan suku bunga acuannya secara signifikan sejalan dengan kenaikan suku bunga acuan AS. Dalam rangka menjaga stabilitas nilai mata uangnya terhadap Dollar AS,” jelasnya.

Pernah Bertahan dalam Krisis Ekonomi

Meski demikian, Anton yakin masyarakat Indonesia tidak panik menyikapi kondisi tersebut. Sebab, Indonesia telah berpengalaman bertahan dalam krisis ekonomi dan finansial global 2008/2009 (GFC 2008/2009).

“Di saat itu, Indonesia hanya mengalami perlambatan ekonomi namun tidak terseret ke dalam resesi. Perekonomian Indonesia masih bisa tumbuh positif sebesar 4,6% tahun 2009 dari 6% pada 2008,” ungkapnya.

Padahal di tahun itu, krisis ekonomi yang ditandai kebangkrutan Bank Lehman Brothers daya rusaknya jauh lebih besar dari kolapsnya SVB, Signature Bank, dan First Republic Bank di tahun ini.

Kemudian, indikator persepsi risiko yang diwakili oleh credit default swap (CDS) dari lima bank besar di AS (Bank of America, Citi Group, JP Morgan, Wells Fargo, dan Morgan Stanley) lebih melonjak signifikan pada saat kolapsnya Lehman Brothers.

“Artinya, kekhawatiran dan ketakutan jatuhnya Lehman Brothers (GFC 2008/09) terbukti kadarnya jauh lebih tinggi dibandingkan dengan jatuhnya SVB dan lain-lain,” jelas Anton.

Fakta-fakta tersebut, lanjutnya, telah membuka nalar sehat bahwa jika AS mengalami resesi tahun 2023, dampak negatifnya kemungkinan besar tidak akan separah krisis ekonomi global 2008/09.

“Indonesia akan jauh dari episentrum resesi ekonomi global 2023. Fundamental ekonomi Indonesia jauh lebih sehat dan kuat dibandingkan kondisi 15 tahun lalu, pada saat resesi ekonomi global 2008/09,” ujar Anton lagi.

Ia melanjutkan, keyakinan itu diperkuat dengan perhitungan yang telah dibangun oleh BRI pada Juli 2022 yakni menggunakan Markov Switching Dynamic Model.

Di sana menunjukkan, jika AS mengalami resesi ekonomi 2023, maka probabilitas Indonesia mengalami resesi ekonomi hanya 2 persen. Angka tersebut sama persis dengan konsensus Bloomberg pada April 2023 ini.

Anton kemudian menyarankan berbagai pihak untuk memperkuat kekuatan domestik perekonomian Indonesia di antaranya dengan mengoptimalkan konsumsi rumah tangga sebagai motor penggerak utama perekonomian.

Di sisi lain, pemerintah harus mampu menjaga daya beli masyarakat level menengah ke bawah dan menggerakkan perekonomian lokal/daerah melalui stimulus fiskal seperti Bantuan Sosial (Bansos), perlinsos, dana desa, dan lain-lain.

“Pelaku UMKM yang menjadi tulang punggung perekonomian Indonesia harus dikuatkan dan dibantu secara berjenjang dan berkesinambungan, terutama dari sisi pembiayaan dan pemberdayaannya,” kata Anton.

Skema KUR yang tepat sasaran dan subsidi bunga yang efektif, mendorong inklusi keuangan, dan literasi keuangan akan membuat pelaku UMKM semakin mandiri dan kompetitif. Pada saat UMKM kuat maka Indonesia akan kuat menghadapi badai resesi ekonomi global.***

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here