Tuesday, 26 November 2024
HomeKota BogorPembangunan Bumi Ageung Tidak Sesuai dengan Jati Diri Kasundaan

Pembangunan Bumi Ageung Tidak Sesuai dengan Jati Diri Kasundaan

Bogordaily.net – Sejumlah budayawan yang tergabung dalam Masyarakat Peduli Bumi Ageung Batu Tulis, menolakan rencana pembangunan museum di kawasan sakral Batutulis. Mereka menilai design bangunan berbentuk Candi Bentar di era Kerajaan Majapahit, tidak sesuai jati diri kasundaan.

Bertempat Bumi Ageung, Batutulis, para budayawan menegaskan tidak akan bosan menyuarakan penolakan pembangunan, hingga Pemkot Bogor mengganti design yang sesuai dengan marwah Pajajaran dan Kesundaan.

Ketua Masyarakat Peduli Bumi Ageung Batutulis, Putra Sungkawa menjelaskan berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan dan baru disahkan menjadi Peraturan Daerah oleh DPRD Kota Bogor, mengamanatkan hadirnya jati diri wilayah sebagai identitas masyarakat setempat.

Menurutnya, rencana desain dan konsep pembangunan dari Pemkot Bogor untuk pembangunan Bumi Ageung Batutulis yang akan dibangun juga museum, jauh dari jati diri Bogor dan nilai-nilai kesundaan.

“Design Bangunan Candi Bentar/Majapahitan di Bumi Ageung Batutulis Pakwan Padjadajan, tidak sesuai jati diri kasundaan. Bumi Ageung bukan Museum akan tetapi wadah Seni dan Kebudayaan,” tegas Putera Sungkawa, Selasa 27 Juni 2023.

Ia berharap, Pemkot Bogor melakukan design ulang yang sesuai dengan Konsep Kesundaan berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017, tentang Pemajuan Kebudayaan dan melibatkan masyarakat.

“Perubahan design diperlukan keterlibatan Masyarakat Peduli Bumi Ageung Batutulis Pakwan Padjadjaran, sebagai perwakilan masyarakat. Bahwa Pembangunan Candi Bentar atau Majapahitan ditolak di wilayah Kesundaan Batutulis Kota Bogor,” ucap Putra Sungkawa.

Sementara itu, mantan Mojang Jajaka Jawa Barat 1997 Oge Hizriyanda Putra menuturkan,  melihat dari aspirasi budayawan jangan hanya sebuah nama saja. Peoses pembangunan  harus benar-benar mencerminkan inspirasi serta kolaborasi dengan masyarakat Sunda.

“Apa lagi kita punya arsitektur lokal yang mengerti sejarah Sunda di Kota Bogor. Saya disini melihat ada bentuk ketidak pedulian dari Pemkot Bogor dan DPRD kota Bogor terhadap budayawan lokal,” katanya.

Sebagai mantan Mojong Jajaka Jawa Barat 1997, Oge mengajak paguyuban mojang jajaka akota Bogor yang sekarang mengatasnamakan mojang jajaka Sunda supaya turut ikut bantu budayawan lokal menghadirkan kearifan Sunda sehingga jati dirinya dapat bangkit kembali.

“Kita bukan kerajaan Majapahit, Demak dan sebagainya. Tapi kita Kerajaan Pajajaran,” terangnya.

Sebelumnya diberitakan arkeolog serta budayawan Kota Bogor yang tergabung dalam berbagai organisasi serta paguyuban, menolak Rencana pembangunan Bumi Ageung  Batutulis oleh Pemerintah Kota (Pemkot) Bogor di kawasan . Mereka menilai kehadiran Bumi Ageung tidak mencerminkan khas kasundaan Padjadjaran.

Para budawan menilai design bangunan lebih mencerminkan gaya bangunan kerajaan Jawa Timur. Penolakan itu dilontarkan pada pertemuan bersama Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kota Bogor, di Auditorium Gedung Arsip dan Perpustakaan Kota Bogor pada Rabu 21 Juni 2023.

Pada pertemuan itu arkeolog dari Universitas Indonesia, Prof. Agus Aris Munandar, menilai letak serta bentuk gerbang hingga keseluruhan bangunan untuk situs Batu Tulis seharusnya mencirikan nilai – nilai Kasundaan.

“Berdasarkan literasi, letak situs cenderung lurus berada di selatan. Gerbang nya di sebelah Utara, bukan membentang dari barat ke timur,” kata Prof. Agus Arus Munandar.

Sementara itu menurut budayawan muda Kota Bogor PUTRA Sungkawa menjelaskan design bangunan Bumi Ageung tidak mencerminkan adat dan kebudayaan Sunda atau ciri Kasundaan. Melihat dari denah yang ditunjukkan, bangunan tampak seperti benteng pertahanan perang.

“Padahal masyarakat sunda memiliki arsitektur rumah adat yang sarat dengan filosofi,” terang Putra Sungkawa.

Design bagunan yang rencana akan berdiri, lanjut Putra Sungkawa, seperti tempat rekreasi kekinian, padahal prasasti Batutulis merupakan tempat sakral.

Putra Sungkwa menegaskan, lokasi itu merupakan tempat Kabuyutan. Prasasti yang memiliki nilai luhur dalam sejarah. Jika dijadikan lokasi pentas seni, tentunya tidak semua kategori seni sesuai dengan nilai-nilai budaya yang luhung.

Sebaiknya kata Putra, kalau Bumi Ageung yang berarti rumah, desain layaknya  saja. Tidak menggiring pembangunan ke ranah arsitektur kerajaan.

“Seharusnya design bangunan merujuk pada  seperti Tagog Anjing, Parahu Kumureb, Badak Heuay, Buka Pongpok, Jolopong, Jubleg Nangkub atau Capit Gunting. Bukan bergaya kerajaan!” Ungkap Putra Sungkawa.

Pemilihan design , selain menghadirkan nuasa Sundanya, sekaligus menjaga warisa sebuah peradaban arsitektur bangunan yang saat ini nyaris dilupakan masyarakat.

Masyarakan Kota Bogor memiliki warisan dari peradaban yang unggul dalam ilmu arsitektur. Hal itu menjadi bukti serta identitas bangsa, rekam jejak masa lalu, sumber pilosofi, menjadi tempat perhelatan acara adat.

Kehadiran arsitektur bangunan yang sesuai pakem, akan mengingatkan masyarakat terhadap sejarah dan pepatah-pepatah luhur.

“Saya pikir Imah Adat menjadi pilihan terbaik. Tidak akan menimbulkan polemik. Tinggal pembuatan bangunannya saja diperkokoh, dengan bahan kayu yang bagus, sehingga bisa tahan sampai puluhan tahun bila perlu berdaya tahan ratusan tahun,” papar Putra Sungkawa.

Bangunan Harus Sesuai Literasi

Para budayawan, menilai seharusnya rencana pembangunan komplek  itu, disesuaikan dengan literasi dan ketentuan yang ada.

Budayawan lainnya seperti Raezal Pancako, Lufthi, Shinda dan Ki Maung sepakat bahwa rancang bangun yang dipaparkan oleh Dinas Pariwisata dan Kebudayaan, sama sekali tidak berbasis kultur kesundaan.

Menurut mereka, seyogyanya dalam merencanakan pembangunan komplek , dilakukan musyawarah dengan melibatkan ahli arkeologi, sejarawan dan tokoh serta aktifis budaya se Bogor Raya.

“Agar semuanya dapat berjalan sesuai ketentuan dan kultur di mana  itu adalah peninggalan sejarah Kerajaan Sunda,” ungkap mereka.

Kepada sejumlam media para budayawan menyampaikan jika , memiliki kesakralan serta menjadi bukti peninggalan sejarah Sunda. Sehingga jangan disatukan dengan bangunan- bangunan yang tidak sesuai keberadaannya dengan situs.

Pata budayawan meminta agar Pemkot tidak memaksakan kehendak, walau didasarkan pada niatan baik, namun jika tidak sesuai jangan dipaksakan.

Terkait penolakan para budayawan serta pandangan arkeologi Prof Agus Aris Munandar, yang menilai pembangunan di kawasan  tidak sesuai literasinya, oleh itu Kepala Dinas Iceu akan melaporkannya kepada pimpinan yakni, Wali Kota Bogor, Bima Arya.***

Ibnu Galansa

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here