Thursday, 28 November 2024
HomePolitikMencegah Oligarki Partai Politik ala Rizal Ramli

Mencegah Oligarki Partai Politik ala Rizal Ramli

Bogordaily.net – Menjadi rahasia umum bahwa partai politik di Indonesia banyak dijalankan seperti “CV” yang bergantung pada Ketua Umum Partai Politik.

Jika kita mengingat masa jatuhnya Orde Baru, yang terlihat adalah euforia pejuang dan aktivis Reformasi 98.

Mereka hanya berfokus pada penggulingan Soeharto, tetapi tidak memikirkan apa yang akan terjadi setelah reformasi.

Salah satunya adalah bagaimana mengatasi peran lembaga yang ada, termasuk peran partai politik.

“Pada saat itu, banyak aktivis mahasiswa yang mendesak pembubaran partai politik pendukung Orde Baru. Terjadi demonstrasi di kantor Golkar dan tempat lainnya. Tetapi pada saat itu, kita menganggap bahwa partai-partai akan beradaptasi. Namun, saran untuk membubarkan partai-partai pendukung Orde Baru mungkin benar jika kita melihat kondisi saat ini,” kata Tokoh Nasional, DR Rizal Ramli, dalam diskusi berjudul “Oligarki Dalam Parpol dan Ancamannya Terhadap Demokrasi” yang diadakan oleh Universitas Paramadina – Diskusi Twitter Space, pada Jumat malam (7/7).

Rizal Ramli hadir sebagai pembicara bersama Sekjen SEMA Universitas Paramadina, Afiq Naufal. Acara ini dibuka oleh Rektor Universitas Paramadina, Prof Dr Didik J Rachbini.

Menurut mantan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, partai-partai tersebut semakin menunjukkan sifat yang tidak demokratis secara internal, dengan pengaruh yang sangat dominan dari Ketua Umum.

Semua hal diatur, termasuk pendapatan yang sebagian besar masuk ke kantong Ketua Umum partai dan bukan ke organisasi partai itu sendiri.

Seperti yang kita ketahui, partai-partai politik mendapatkan pendanaan dari berbagai sumber, dan mereka juga “mengambil” dana dari APBN, APBD, dan BUMN.

“Namun, sebagian besar dana tersebut masuk ke kantong Ketua Umum partai dan tidak masuk ke pendapatan resmi partai,” katanya.

Menurut Rizal Ramli, hal-hal seperti itu tidak bisa dibiarkan begitu saja. Sesuai dengan konteks negara demokratis, menurut ekonom senior tersebut, kita memang membutuhkan partai politik.

Namun, pengelolaannya harus demokratis. Semua kekuasaan tidak boleh berasal atau diserahkan sepenuhnya kepada Ketua Umum partai.

Menurut Rizal Ramli, Ketua Umum partai saat ini dapat mengeluarkan anggota DPR seenaknya.

“Sehingga 575 anggota DPR seperti anak-anak taman kanak-kanak yang hanya mengikuti perintah dari 9 atau 10 Ketua Umum. Sementara Ketua Umumnya sendiri diberi keuntungan oleh penguasa melalui proyek untuk Ketua Umum, kredit untuk Ketua Umum, dan sebagainya,” katanya.

Bang RR, panggilan untuk Rizal Ramli, mengatakan bahwa sistem politik seperti itu sebenarnya merusak demokrasi.

Oleh karena itu, setelah masa jabatan Presiden Jokowi berakhir, perlu dilakukan perbaikan.

Pertama, partai politik harus didanai oleh negara seperti di Eropa, Inggris, Selandia Baru, Australia, dan negara-negara Arab. Biayanya tidak terlalu mahal, hanya sekitar Rp30 triliun per tahun.

“Sementara saat ini, praktik penyelewengan partai-partai tersebut jauh lebih besar, mencapai lebih dari Rp75 triliun,” katanya.

Kedua, pendanaan tersebut harus diikuti dengan kewajiban untuk mengubah Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) partai politik.

Hal ini dilakukan untuk mencapai demokratisasi internal partai politik.

“Tidak bisa kita bicara tentang demokrasi jika di dalamnya sendiri tidak demokratis. Selain itu, siapa pun anggota partai politik tidak perlu menjadi budak, dan cucu atau keturunan mereka sendiri tidak harus menjadi Ketua Umum,” ujar Bang RR.

Ketiga, pengeluaran yang didanai oleh negara harus diaudit. Dana tersebut hanya boleh digunakan untuk keperluan kaderisasi, kampanye, dan organisasi partai politik, dan tidak boleh digunakan untuk kepentingan pribadi.

Keempat, kata Rizal Ramli, setelah itu kita bisa yakin bahwa jika partai politik bersih dan demokratis, mereka pasti akan memperjuangkan keadilan, demokrasi, dan tata pemerintahan yang baik.

“Tetapi jika saat ini partai politik menerima suap dan tidak demokratis, mereka tidak akan pernah memperjuangkan keadilan, demokratisasi bagi rakyat, dan tidak akan pernah berjuang untuk kemakmuran rakyat. Mereka sibuk memperkaya diri sendiri dan teman-temannya,” katanya.

Politik Masih Terjebak pada Sosok

Sementara itu, Afiq Naufal mengatakan bahwa generasi muda saat ini sudah merasa tidak nyaman melihat oligarki dalam partai politik yang terang-terangan. Padahal, generasi muda merupakan pemilih terbesar dalam Pemilu 2024.

“Mereka merasa sangat tidak nyaman dan bahkan alergi terhadap istilah-istilah politik,” katanya.

Pendidikan politik bagi generasi muda sangat kurang, dan hal itu berbahaya bagi stabilitas demokrasi di masa depan.

Sebenarnya, menurut pemahaman generasi muda, demokrasi adalah suara rakyat yang merupakan representasi dari pemikiran-pemikiran tersebut.

Naufal mengatakan bahwa fokus utama saat ini adalah apakah oligarki di masa depan akan semakin kuat, di tengah tradisi feodalisme dalam masyarakat kita.

Dia mengatakan bahwa tantangan dalam politik adalah kita masih terjebak pada sosok, seperti pada tahun 2019 banyak orang yang siap mati karena sosok tertentu dalam Pemilu.***

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here