Bogordaily.net– Kantor Hukum Sembilan Bintang & Partners menyoroti tanah yang kondisinya telantar.
Tanah terlantar berstatus Hak Guna Usaha (HGU), Hak Guna Bangunan (HGB), Hak Pengelolaan Lahan (HPL), dan sejenisnya masih menjadi persoalan krusial.
Ribuan hektar tanah yang tak digarap dan difungsikan puluhan tahun oleh pihak swasta sebagai penerima hak. Selain menyalahi peraturan perundangan bisa memicu konflik dengan warga sebagai penggarap.
Kondisi ini disoroti Anggi Triana Ismail dari Kantor Hukum Sembilan Bintang and Partners. Menurutnya, seharusnya BPN berani memberikan sanksi hukum terhadap perusahaan-perusahaan pemegang HGU atau HGB yang menelantarkan tanahnya selama berpuluh tahun.
Hal ini seperti diatur dalam Undang-Undang Agraria, UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Omnibus Law pada Pasal 180 ayat (1), maupun Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2021 tentang Penertiban Kawasan dan Tanah Telantar.
“Kalau terus dibiarkan tanpa ada tindakan tegas, akan menimbulkan rasa ketidakadilan serta membuka peluang konflik dengan masyarakat,” kata Anggi, Kamis 2 November 2023.
Anggi menjelaskan, sesuai dengan peraturan tanah bisa dikategorikan telantar apabila dua tahun sejak menerima hak pengelolaan atau kepemilikan tidak melakukan aktivitas pengelolaan tanah tersebut.
“Pemerintah melalui BPN bisa mencabut izinnya dan status tanahnya harus dikembalikan ke negara,” imbuhnya.
Tanah Telantar di Cijeruk
Anggi mencontohkan kasus tanah telantar ini terjadi di lereng Gunung Salak tepatnya di Desa Cijeruk, Kecamatan Cijeruk, Kabupaten Bogor.
Ia menyebut PT Bahana Sukma Sejahtera (BSS) mengaku sebagai pemegang hak SHGB Nomor 6 Tahun 1997 seluas 39 hektar. Namun faktanya sampai tahun 2023 tidak pernah melakukan aktivitas atau mendirikan pondasi satu meter pun di sana.
“Akibat telantar dan tidak digarap, akhirnya warga setempat berani menggarap untuk bercocok tanam setelah mendapatkan surat over alih garapan dari pemerintah desa setempat. Sekarang tiba-tiba PT BSS mengusir warga penggarap tanpa permisi maupun memberikan kompensasi apapun,” bebernya.
Berbekal surat kuasa dari 21 warga penggarap di Cijeruk, Anggi berupaya meminta bantuan kepada kantor BPN Kabupaten Bogor guna menyelesaikan persoalan tersebut.
“Tapi sudah satu bulan surat yang kami sampaikan tidak ada respons dari BPN,” ujarnya.
Selain itu, tim hukum Sembilan Bintang pun telah berkirim surat kepada Menteri ATR/BPN tentang kondisi tanah di Cijeruk yang dikuasai PT BSS.
“Karena kami juga tidak mendapatkan respons dari BPN Bogor, kami telah berkirim surat ke BPK dan BPKP agar menetapkan tanah telantar atas tanah BSS serta mengaudit BPN Bogor karena tidak menjalankan fungsinya mengawasi atau mengurusi tanah telantar,” tandas Anggi.(Acep Mulyana)