Bogordaily.net – Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) RI, Siti Nurbaya Bakar mengapresiasi jerih payah, konsistensi dan eksistensi Taman Safari Indonesia (TSI) dalam menjalankan program konservasi, edukasi, riset/penelitian dan rekreasi berbasis alam selama kurun 36 tahunan terakhir.
Apresiasi ini disampaikan langsung kepada Founder Taman Safari Indonesia, Jansen Manansang dan Tony Sumampau di acara Workshop bertajuk ‘Peran LK Dalam Mendukung Upaya Penyelamatan TSL Serta Penurunan Emisi’ di Ballrom Hotel Fairmont Jakarta Selatan, Selasa (30/1/2024).
“Kami sangat mengapresiasi apa yang sudah dikerjakan dan dijalankan Pak Jansen dan kawan-kawan di Taman Safari Bogor. Ini bisa menjadi percontohan dan rujukan bagi Lembaga Konservasi di Indonesia,” ungkap Menteri LHK Siti Nurbaya
Lembaga Konservasi (LK) merupakan mekanisme pengelolaan satwa di luar habitat (ex-situ) yang dilakukan untuk mendukung pengelolaan Tumbuhan dan Satwa Liar (TSL) di dalam habitatnya (in-situ).
Siti juga menegaskan bahwa LK untuk kepentingan umum memiliki fungsi penting yang menyatukan elemen konservasi, pendidikan, dan rekreasi yang sehat.
“LK seperti kebun binatang baik yang besar maupun kecil, Public Service Obligation-nya sangat kuat, utamanya untuk melindungi dan melestarikan (TSL), serta edukasi kepada masyarakat,” terang Siti.
Selain aspek konservasi, LK juga memiliki aspek komersil yang memerlukan perizinan dari pemerintah. Menteri Siti menerangkan bahwa izin tersebut adalah otoritas dari negara kepada manajemen operasional LK.
“Kalau kita lihat bahwa wildlife belong to the state atau milik negara, artinya ada constitusional rights untuk rakyat dan negara. Apabila diberikan izin maka menjadi operational rights, dan apabila izin dengan segala persyaratannya dipenuhi hingga beroperasi menimbulkan nilai ekonomi, maka jadi economic rights yang manfaatnya dapat diterima oleh masyarakat secara finansial maupun sosial,” jelas Siti.
Workshop ini dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE) ini bertujuan untuk mengembangkan potensi nilai ekonomi karbon di Lembaga Konservasi, mengembangkan potensi wisata terintegrasi yang bukan wisata massal, namun memiliki potensi ekonomi tinggi, serta mengembangkan Pusat Edukasi Pengelolaan Lembaga Konservasi (Center of Excellent); dan menghasilkan rekomendasi kebijakan dan kelembagaan terkait nilai ekonomi karbon, pengembangan wisata dan pusat edukasi pengelolaan satwa liar.
Workshop ini diikuti oleh berbagai pihak terkait dari unsur Pejabat Eselon I dan II Lingkup KLHK, Kepala UPT Lingkup Ditjen KSDAE, Kepala Bagian Lingkup Ditjen KSDAE, perguruan tinggi/akademisi/praktisi dari Unversitas Gajah Mada, Institut Pertanian Bogor, Institut Teknologi Bandung, Universitas Brawijaya, Universitas Airlangga, Universitas Nasional, Perhimpunan Kebun Binatang Seluruh Indonesia (PKBSI), pimpinan lembaga konservasi, praktisi, serta dari unsur Pimpinan Kementerian/Lembaga Lain yang terkait.
Pada kesempatan ini, Menteri Siti menyampaikan bahwa selain pengelolaan TSL, LK juga berpotensi memiliki nilai ekonomi karbon dimana tutupan vegetasi yang ada di areal Lembaga Konservasi dapat mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) juga menyimpan dan menyerap karbon.
“Dan bahkan kita bisa mengembangkan nilai-nilai pembeda dari aktivitas lembaga konservasi dengan High Conservation Value yang relevan dengan substansi karbon,” ungkap Menteri Siti.
Menteri Siti juga menyampaikan lebih lanjut kepada peserta workshop, bahwa saat ini KLHK tengah mengimplementasikan FoLU Net Sink 2030 yang selaras dengan target dan tujuan pada Kunming Montreal Biodiversity Global Framework, Convention Biological Diversity (CBD). “Dalam ruang lingkup FoLU Net Sink 2030, konservasi keanekaragaman hayati menjadi aksi mitigasi, misalnya melalui intervensi dalam pembinaan populasi dan habitat,” jelas Menteri Siti.
Lebih lanjut, pemanfaatan nilai ekonomi karbon dari sisi status lahan di LK yang secara umum menjadi hak milik, berpeluang dikembangkan skema karbon melalui program-program Aforestasi, Rehabilitasi, dan Reboisasi (ARR).
Skema karbon di Lembaga Konservasi juga dapat menjadi peluang pendapatan (financial additionality) untuk mendukung pengelolaan satwa yang lebih baik dan memenuhi standar mutu. Tentu perlu exercise dan perumusan metodologi yang tepat terlebih dahulu.
“Dari sinilah dapat dilihat keterkaitan erat antara perubahan iklim dengan keanekaragaman hayati, krisis iklim dapat mengubah habitat, mengganggu proses ekologis, dan meningkatkan risiko kepunahan TSL,” terang Menteri Siti.
Saat ini tercatat 82 unit LK untuk kepentingan Umum yang teregister di KLHK. Namun demikian, Menteri Siti menyadari bahwa belum semua LK mempunyai sarana prasarana dan sumber daya yang memadai dalam pengelolaan TSL.
Menteri Siti menuturkan, perlu dibangun sebuah konsep Akademia Konservasi dimana para staf pengelola dapat memperoleh ilmu dan pengetahuan dalam pengelolaan satwa.
Kemudian, pengetahuan dan sumber daya manusia yang profesional di bidangnya antara lain seperti kurator, keeper, studbook keeper, dan penggunaan teknologi pengembangbiakan dapat berbagi pengetahuan dengan LK lain, penangkar atau bahkan petugas-petugas konservasi di lapangan.
Dirinya juga menegaskan bahwa dari banyaknya peran dan fungsi penting yang diemban oleh LK, menuntut agar lembaga ini dikelola secara profesional, menyediakan sarana prasarana representatif, serta staf pengelola yang memiliki keahlian di bidangnya.
“Saya kira kebutuhan-kebutuhan pendidikan dan pelatihan terkait konservasi spesies satwa liar bisa diintegrasikan disini, termasuk pengembangan akademia konservasi. Dalam pelaksanaannya bisa dibangun dalam skema kerjasama KLHK, Universitas/PT, dan TSI sebagai lembaga konservasi,” tandas Siti.
Menjawab keinginan Siti tersebut, Direktur Taman Safari Indonesia (TSI), Jansen Manansang, mengaku sangat siap menjadi fasilitator untuk mendukung terwujudnya wadah akademik untuk mendidik dan melahirkan bibit-bibit praktisi yang siap berkarir di dunia konservasi dan edukasi di bidang kesatwaan.
“Kami berterima kasih atas apresiasi dari Bu Menteri. Terkait keinginan mendirikan sekolah khusus untuk melahirkan keeper-keeper satwa yang akan membantu keberlangsungan lembaga konservasi tentu kami sangat siap. Terlebih saat ini, program-program penelitian dan pelatihan untuk eksternal juga sudah berjalan bagus,” ungkap Jansen Manansang.***