Akhir-akhir ini kita semua disuguhkan dengan ramainya berita tentang calon gubernur dan wakil gubernur, walikota dan wakil walikota serta bupati dan wakil bupati, sebagai calon kepala daerah atau pemimpin wilayah, mengingat tahun ini adalah tahun politik.
Kalo kita lihat secara seksama arti kata pemimpin dalam kamus besar Bahasa Indonesia (KBBI).
“Pemimpin adalah seorang pribadi yang memiliki kecakapan dan kelebihan di satu bidang, sehingga dia mampu mempengaruhi orang lain untuk bersama-sama melakukan aktivitas-aktivitas tertentu untuk tujuan tertentu pula.”
Dalam literatur bahasa Inggris, diksi (pemilihan kata) dengan arti kata pemimpin itu beragam.
Diantaranya Leader, Chief, Captain, Boss, Director, President dll. Bahasa arab pun juga demikian. Redaksi kata yang bisa dimaknai dengan kata pemimpin diantaranya adalah Imam, Rois, Roin (seperti dalam hadits), Mas’ul, atau Qiyadah dll.
Akan tetapi dalam artikel ini penulis tertarik untuk memilih kata pemimpin yang dimunculkan dalam Al Qur’an berupa redaksi kata “Khalifah”. Hal ini terdapat dalam dua surat yang berbeda. Pertama, Q.S Al-Baqarah ayat 30 dan yang kedua Q.S Shad ayat 26.
وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً
(Ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, “Aku hendak menjadikan khalifah di bumi.” (Q.S Al-Baqarah ayat 30)
يَا دَاوُودُ إِنَّا جَعَلْنَاكَ خَلِيفَةً فِي الْأَرْضِ
Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi. (Q.S Shad ayat 26)
Menurut Prof. Dr. M. Quraish Shihab ada dua penafsiran dari redaksi kata Khalifah ; (1) kata khalifah digunakan oleh Al-Qur’an untuk siapa saja yang diberi kekuasaan mengelola wilayah, baik luas maupun terbatas.Dalam hal ini Daud mengelola wilayah Palestina, sedangkan Adam secara potensial atau aktual diberi tugas mengelola bumi keseluruhannya pada awal masa sejarah kemanusiaan ; (2) Bahwa seorang khalifah berpotensi, bahkan secara aktual, dapat melakukan kekeliruan dan kesalahan akibat mengikuti hawa nafsu. Karena itu baik Adam maupun Daud diberi peringatan agar tidak mengikuti hawa nafsu (lihat QS 20:16 dan QS 38: 26).
وَ لا تَتَّبِعِ الْهَوى فَیُضِلَّکَ عَنْ سَبِیلِ اللَّهِ
“Dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah.” (QS Shod 38: 26)
Hal menarik untuk diperbandingkan adalah QS 2 :30 Allah mengatakan sesungguhnya Allah menciptkan dan memilih Adam sebagai khalifah dengan redaksi kata tunggal “inni” (sesungguhnya Aku). Sedangkan Daud dijadikan pemimpin dengan redaksi kata jamk “inna” (sesungguhnya Kami) bentuk plural, bermakna mengandung keterlibatan pihak lain bersama Allah dalam pekerjaan yang ditunjuk-Nya, Allah mengisyaratkan bahwa Daud bukan saja dipilih oleh Allah tetapi juga diangkat oleh masyarakat untuk menjadi raja. Ada pemilihan (konsensus) dalam penentuan Daud sebagai khalifah.
Lalu bagaimana sudut pandang islam dalam perspektif kepemimpinan?
Ada 3 hal terkait kepemimpinan dalam perspektif Islam.
Pertama, Kepemimpinan dan Jabatan itu adalah sebuah Amanah
Dalam Al Qur’an dijelaskan bahwa kepemimpinan dan jabatan itu adalah sebuah amanah. Amanah itu pernah Allah tawarkan kepada langit, bumi dan gunung namun mereka menolak. Sebagaimana dijelaskan dalam QS Al-Ahzab (33) : 72
إِنَّا عَرَضۡنَا ٱلۡأَمَانَةَ عَلَى ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضِ وَٱلۡجِبَالِ فَأَبَيۡنَ أَن يَحۡمِلۡنَهَا وَأَشۡفَقۡنَ مِنۡهَا وَحَمَلَهَا ٱلۡإِنسَٰنُۖ إِنَّهُۥ كَانَ ظَلُومٗا جَهُولٗا
Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh. (QS Al-Ahzab : 72)
Kedua, Setiap orang adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggung jawaban.
Dalam hadits Riwayat imam Bukhori dan Muslim Nabi SAW bersabda
كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
Artinya : Setiap orang adalah pemimpin dan akan diminta pertanggungjawaban atas kepemimpinannnya. (HR. Bukhori dan Muslim)
Berdasarkan hadits ini jelas bahwa setiap pribadi muslim memiliki kapasitas sebagai Apemimpin apapun level kepemimpinan tersebut.
Ada yang menjadi seorang gubernur, walikota, camat, lurah, ketua RT dan RW ataupun pemimpin lintas sectoral seperti dalam organisasi, yayasan, lembaga dll. Dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang dipimpinnya.
Ketiga, Kepemimpinan atau jabatan itu bisa memuliakan atau menghinakan
Dalam perspektif islam, kepemimpinan atau jabatan itu bisa mendatangkan dua hal yakni ; Kemuliaan atau kehinaan bagi yang mendapatkan posisi tersebut. lihat Qur’an Surat Ali Imron (3) : 26
قُلِ اللَّهُمَّ مَالِكَ الْمُلْكِ تُؤْتِي الْمُلْكَ مَن تَشَاء وَتَنزِعُ الْمُلْكَ مِمَّن تَشَاء وَتُعِزُّ مَن تَشَاء وَتُذِلُّ مَن تَشَاء بِيَدِكَ الْخَيْرُ إِنَّكَ عَلَىَ كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
Katakanlah: “Wahai Tuhan Yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. (QS. Ali Imron : 26)
Sejarah mencatat bahwa para pemimpin yang dimuliakan disebabkan oleh pemimpin tersebut yang menjalankan perannya dengan amanah, jujur, adil dan menyejahterakan rakyatnya, mereka itulah para anbiya dan salafussaleh. Kitapun menyaksikan pula bahwa tidak sedikit para pemimpin yang dihinakan dikarenakan jabatan yang diembannya dijadikan sebagai ajang memperkaya diri sendiri, korupsi, penyalahgunaan wewenang dll.
Semoga kita termasuk orang dapat memikul amanah dengan baik.
Waallahu A’lam bisshowab.***
Ditulis Oleh : Abdul Ghofur, M. Pd (Ketua DPC PUI Tanah Sareal)
Penulis adalah seorang Kepala Sekolah Islam Terpadu SMPIT At Taufiq Bogor. Penulis juga aktif mengisi Khutbah jum’at dan kajian dibeberapa masjid dikota bogor. Saat ini penulis diamanahi sebagai Ketua DPC PUI (Persatuan Ummat Islam) Tanah Sareal Kota Bogor. Selain itu penulis juga sedang mengembangkan lembaga pendidikan sebagai Owner Sekolah Ibnu Ghaida Bogor.