Bogordaily.net – Kontestasi Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024 akan menjadi panggung penting, tidak hanya bagi para pasangan calon yang akan berkompetisi memperebutkan kursi kepemimpinan daerah, tetapi juga bagi generasi muda, khususnya mahasiswa, yang diharapkan menjadi aktor-aktor kritis dalam menentukan masa depan bangsa.
Di tengah kemelut skeptisisme yang merajalela di kalangan mahasiswa terhadap kinerja pemerintah, tantangan yang dihadapi oleh para pasangan calon tidak hanya sebatas meraih simpati elektoral, tetapi lebih dari itu, yakni mengembalikan kepercayaan dan citra positif pemerintahan di mata kaum intelektual muda ini.
Skeptisisme mahasiswa terhadap pemerintah bukanlah fenomena baru, namun di era informasi yang begitu cepat dan tak terbatas ini, sikap kritis tersebut kian menguat. Mahasiswa, yang memiliki akses luas terhadap berbagai informasi dan sering kali menjadi penggerak opini di masyarakat, memainkan peran penting dalam menguji konsistensi, komitmen, serta visi misi yang ditawarkan oleh para pasangan calon.
Mereka bukan sekadar pemilih, tetapi juga menjadi juri sosial dan politik yang menentukan arah kebijakan publik di masa mendatang. Inilah yang menjadikan peran mahasiswa dalam Pilkada kali ini sangat strategis.
Di sisi lain, para pasangan calon dihadapkan pada tugas besar untuk merebut hati dan pikiran mahasiswa. Namun, tantangan terbesar mereka bukanlah bagaimana memenangkan suara mahasiswa, melainkan bagaimana menanamkan persepsi positif terhadap institusi pemerintah yang sering kali terdistorsi oleh berbagai kasus korupsi, ketidakadilan, dan kebijakan yang tidak pro-rakyat.
Para calon harus mampu membuktikan bahwa pemerintah bukanlah entitas yang terpisah dari rakyat, tetapi sebuah wadah yang harus selalu merespons aspirasi dan kebutuhan warganya. Mereka perlu menunjukkan komitmen nyata untuk memperbaiki tatanan pemerintahan, dengan transparansi dan akuntabilitas sebagai landasannya.
Dalam konteks ini, kampus harus dijadikan sebagai ruang diskursus intelektual yang bebas, tempat di mana para pasangan calon diuji gagasannya tanpa terjebak dalam pola kampanye pragmatis. Kampus bukanlah tempat untuk mencari dukungan suara, melainkan arena untuk mempertarungkan ide-ide besar yang akan membentuk kebijakan di masa depan.
Kampanye politik di lingkungan kampus harus dihindari agar netralitas dan integritas akademik tetap terjaga. Alih-alih berfokus pada ajakan memilih, calon pemimpin daerah harus menjadikan kampus sebagai laboratorium pemikiran kritis, di mana setiap argumen dan rencana kebijakan mereka dapat diuji oleh mahasiswa yang rasional dan objektif.
Mahasiswa, dengan kapabilitas intelektual dan idealismenya, memiliki tanggung jawab untuk menjaga esensi demokrasi tetap hidup. Mereka harus berani mengajukan pertanyaan-pertanyaan kritis, menggugat narasi yang lemah, dan mendorong pasangan calon untuk memberikan solusi yang konkret atas permasalahan yang dihadapi masyarakat. Kampus sebagai ruang akademik tidak boleh dijadikan alat politik, melainkan harus tetap menjadi pusat pembelajaran yang mengedepankan nilai-nilai demokrasi substantif.
Jika para pasangan calon mampu memanfaatkan ruang ini dengan baik, maka akan tercipta dialog yang konstruktif antara pemerintah dan generasi muda, yang pada akhirnya mampu memperbaiki relasi antara rakyat, khususnya mahasiswa, dengan pemerintah. Relasi ini harus dibangun di atas dasar saling pengertian, keterbukaan, dan kesediaan untuk menerima kritik. Inilah bentuk partisipasi politik yang sesungguhnya, di mana mahasiswa tidak hanya sekadar menjadi objek politik, tetapi juga subjek yang aktif dalam menciptakan perubahan yang bermakna.
Dalam proses ini, mahasiswa harus menjaga independensi dan integritasnya sebagai pengawal demokrasi. Mereka tidak boleh terjebak dalam romantisasi politik praktis, tetapi harus tetap konsisten dalam perjuangan intelektual dan idealismenya. Sementara itu, para pasangan calon harus mampu menyeimbangkan kepentingan elektoral dengan kepentingan jangka panjang membangun pemerintahan yang kredibel dan responsif.
Dengan demikian, Pilkada 2024 menjadi momentum bagi kedua belah pihak, baik pasangan calon maupun mahasiswa untuk bersama-sama mendorong perbaikan sistem pemerintahan yang lebih inklusif dan akuntabel. Mahasiswa, sebagai agen perubahan, memiliki peran sentral untuk memastikan bahwa demokrasi tidak hanya menjadi sekadar ritual politik lima tahunan, melainkan sebuah proses yang terus hidup dan berkembang demi kemaslahatan bangsa.
Penulis: Bayu Raksa Pradipa (Ketua Umum Himpunan Mahasiswa Bisnis Digital FEB Universitas Pakuan)