Tuesday, 15 October 2024
HomeKabupaten BogorPT Kahuripan Raya Dinilai Mengklaim Sepihak, Abaikan Hak Masyarakat Penggarap Desa Iwul...

PT Kahuripan Raya Dinilai Mengklaim Sepihak, Abaikan Hak Masyarakat Penggarap Desa Iwul Bogor

Bogordaily.net – Permasalahan tanah garapan masyarakat Desa Iwul, Kecamatan Parung, Kabupaten Bogor, tidak kunjung menemui kata sepakat atau damai.

Tokoh masyarakat Desa Iwul sekaligus  Koordinator JAJAKA (Jaga Alam, Jaga Kampung) Jarkasih mengatakan bahwa, dari sejak zaman kakek dan neneknya merupakan penduduk asli Desa Iwul.

Kemudian wilayah Bojongsempu dan dari sejak dulu kehidupannya baik-baik saja. Bahkan, waktu ada PTPN pun mereka mengaku baik-baik saja.

“Kita masyarakat menempati tanah ini secara turun-temurun, namun pasca beralihnya tanaman karet pada tahun 2013 muncul pihak yang mengklaim mempunyai lahan tersebut yang dulunya bekas tanaman karet HGU PTPN,” kata Jarkasih, Selasa 15 Oktober 2024.

Menurutnya, pada bulan Juni 2024 PT Kahuripan Raya menurunkan alat berat tanpa adanya pendekatan dan sosialisasi kepada para penggarap di lahan tersebut. Padahal mayoritas para penggarap lahan tersebut telah menggarap ada yang lebih dari 30 tahun di lahan tersebut.

“Pokoknya di atas 10 tahun para penggarap tersebut menjaga dan memelihara alam, menjaga mata air dan debit air tanah kita kualitasnya masih bagus. Akan tetapi dari bulan Juli 2024, kita kaget dengan mulai adanya cut and fill ada pengurukan tanah dan pemindahan tanah dari lahan darat ke lahan air atau sawah, itu yang membuat kita sedih serta tanaman masyarakat seperti pohon sengon, singkong yang baru ditanam dua bulan dibabat habis tanpa ada bicara tentang kompensasi,” jelasnya.

Lebih lanjut kata Jarkasih, tanaman tersebut menyimpan cadangan air. Bahkan, PT Kahuripan Raya juga mengklaim jalan, padahal jalan tersebut sudah ada sebelum kakek nenek warga Desa Iwul meninggal dunia.

“PTmKahuripan Raya juga menghantam atau menyasar ke situs-situs sejarah, ada delapan titik pemakaman leluhur kami yang mereka klaim juga, bahwa pemakaman itu diatas dalam penguasaan PT Kahuripan Raya,” ujar Zarkasih.

Menurutnya, pengrusakan yang dilakukan pihak perusahaan dengan menggunakan alat berat terhadap tanah garapan masyarakat, memiliki bukti-buktinya berupa video saat alat berat merusak pohon sengon yang masih produktif, pohon singkong milik penggarap yang ditanam menggunakan modal sendiri.

Berarti dengan adanya pemerataan tanah ini mengakibatkan kerugian masyarakat serta merusak ekosistem yang dampaknya sekarang ini debit air berkurang, kehilangan mata pencaharian, menunjukan dampak buruk sosial dan para petani sangat dirugikan dengan adanya kegiatan masuknya alat berat tersebut.

Selain itu, secara legalitas kepemilikan, Jarkasih mengungkapkan bahwa masyarakat memiliki surat over alih garapan yang di tanda tangani oleh pemerintahan Desa Iwul dan dalam surat over alih garapan juga dinyatakan bukan tanah milik PT Kahuripan Raya, melainkan tanah Negara.

“Artinya, kita memiliki hak sebagai masyarakat atas tanah itu, masyarakat yang terdampak atas adanya kegiatan tersebut sebanyak dua ribu penduduk, namun untuk dampak buruk terhadap alam ya tentunya secara keseluruhan,” ujarnya.

Atas persoalan tersebut, pada tanggal 03 Oktober 2024, masyarakat Desa Iwul diundang oleh pihak Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Bogor untuk melakukan mediasi terkait permasalahan tersebut.

“Kami kaget sebetulnya, karena sebelumnya kami mengirimkan surat kepada BPN Kabupaten Bogor tidak ditanggapi, tetapi ketika perusahaan yang berkomunikasi dengan pihak BPN langsung ditanggapinya. artinya, undangan mediasi ini diduga perintah adanya komunikasi antara PT Kahuripan Raya dengan pihak BPN Kabupaten Bogor. Namun masyarakat hadir ke kantor BPN untuk melihat riwayat tanah ataupun asal usul perolehan objek tanah yang diklaim PT Kahuripan Raya mengingat masyarakatlah yang merawat atau mengelola objek tanah tersebut, jadi minimal masyarakat dapat memperoleh informasi yang sebenarnya,” imbuhnya.

Dari hasil pertemuan tersebut, lanjut Jarkasih, masyarakat tidak mendapatkan informasi apapun terkait asal usul perolehan PT. Kahuripan Raya, BPN hanya menyampaikan akan berkoordinasi dengan Kanwil BPN Jawa Barat karena pihak BPN Kabupaten Bogor tidak memiliki warkah, melainkan ada di Kanwil.

“Masyarakat Desa Iwul sangat kecewa dengan tindakan PT Kahuripan Raya, diatas tanah garapan masyarakat ada pohon singkong, pohon sengon, rumah dan makam, yang paling disayangkan makam juga di SHGB kan oleh PT Kahuripan Raya, kok bisa seperti itu dan kami berkeyakinan tanah tersebut milik kami secara adat, mungkin dirampas pada saat penjajahan, karena kita dapat melihat jika ada pemakaman tentu ada pemukiman,” tutur Zarkasih.

Selain itu ia meminta, agar lokasi tanah garapan yang sebagian telah diratakan tersebut tidak ada aktivitas apapun sebelum ada kesepakatan dan pihaknya dengan harapan tidak ada lagi alih fungsi lahan seperti yang dilakukan PT. Kahuripan Raya serta memohon kepada pemerintah ataupun pihak terkait untuk membatalkan SHGB tersebut.

“Pemerintah juga harus hadir untuk tidak terjadi konflik antara masyarakat dengan PT. Kahuripan Raya mengingat tindakan PT. Kahuripan Raya sangat merugikan masyarakat,” ujarnya.

Ia mengaku, masyarakat terutama para penggarap akan selalu patuh terhadap aturan hukum yang berlaku. Namun, selama hak-haknya belum dipenuhi, ia akan berjuang atau tetap mempertahankan fungsi lahan.

“Jangan sampai karena hanya orientasi bisnis lalu PT. Kahuripan Raya melakukan hal-hal keji atau kotor seperti merusak tanaman dan menggangu ketertiban masyarakat,” keluhnya.

Sementara itu, Praktisi dan Akademisi Hukum, Berto Tumpal Harianja menyoroti persoalan yang dialami masyarakat Desa Iwul. Menurutnya, ada beberapa hal terkait permasalahan tersebut, diantaranya bahwa para penggarap perlu perlindungan dari pemerintah mengingat hal ini mencakup masyarakat banyak.

“Tanah Garapan adalah sebidang tanah yang sudah atau belum dilekati dengan sesuatu hak yang dikerjakan dan dimanfaatkan oleh pihak lain baik dengan persetujuan atau tanpa persetujuan yang berhak dengan atau tanpa jangka waktu tertentu,” kata Berto.

Selain itu, masyarakat juga menggarap sudah turun temurun maka perlu peninjauan ulang terkait pemberian hak atau perpanjangan SHGB PT. Kahuripan Raya, apakah sesuai dengan ketentuan atau tidak, terlebih terkait penelitian data yuridis dan data fisik.

“Jika diberikan hak atau perpanjangan SHGB akan tetapi masyarakat masih menggarap diatas objek tersebut maka perpanjangannya cacat administrasi, karena tidak sesuai dengan data fisik,” imbuhnya.

Mengigat masyarakat sudah turun – temurun menggarap objek tanah tersebut bahkan sampai 30 tahun, maka perlu juga meneliti warkah atau asal usul perolehan objek tanah tersebut. Apalagi diatas tanah sudah ada makam, rumah dan lain sebagainya.

“Apakah para penggarap maupun pihak Pemerintah Desa Iwul pernah melihat atau menyetujui Berita Acara Persetujuan Penetapan Batas Bidang Tanah dan Risalah Panitia Pemeriksaan Tanah “A” ini perlu supaya permasalahan dengan masyarakat lebih jelas dan terang,” ujarnya.

Sebagai informasi, diberikannya Hak Guna Bangunan kepada perusahaan dengan ketentuan Undang – undang, seperti penguasaan dan peruntukannya sebagaimana dalam hak yang diberikan.

Jika hal tersebut tidak dilakukan maka sesuai dengan Peraturan Pemerintah RI No. 20 Tahun 2021 Tentang Penertiban Kawasan dan Tanah Terlantar, Pasal 7 (3) yang berbunyi : Tanah hak guna bangunan, hak
pakai, dan hak pengelolaan menjadi objek penertiban tanah terlantar jika dengan sengaja tidak diusahakan, tidak dipergunakan, tidak dimanfaatkan, dan/atau tidak dipelihara terhitung mulai 2 (dua) tahun sejak diterbitkannya hak.

Hal diatas dipertegas dalam UU Pokok Agraria RI No. 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Aagraria, pasal 40 “Hak guna bangunan dihapus karena diterlantarkan”. (Albin Pandita)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here