Wednesday, 12 March 2025
HomeOpiniKasus Agus Buntung: Keadilan bagi Korban dan Perlindungan Hak Penyandang Disabilitas

Kasus Agus Buntung: Keadilan bagi Korban dan Perlindungan Hak Penyandang Disabilitas

Oleh Ratu Prameswari

Kasus pelecehan seksual yang melibatkan I Wayan Agus Suartama (IWAS), atau lebih dikenal sebagai , telah menjadi perbincangan luas di masyarakat. Agus, yang merupakan penyandang , diduga melakukan pelecehan terhadap 15 korban, termasuk anak di bawah umur.

Fakta-fakta yang terungkap dalam kasus ini memicu perdebatan mengenai bagaimana sistem hukum harus menangani pelaku kejahatan yang memiliki kondisi khusus seperti Agus. Menurut laporan yang beredar, Agus menggunakan ancaman psikologis dan manipulasi untuk melakukan aksinya.

Bukti berupa rekaman video dan suara semakin memperkuat dugaan tersebut. akhirnya ditetapkan sebagai tersangka setelah adanya laporan dari seorang mahasiswi yang mengaku sebagai salah satu korbannya tersebut.

Kasus ini menimbulkan dilema hukum yang cukup kompleks. Di satu sisi, keadilan bagi para korban harus ditegakkan tanpa kompromi. Namun, di sisi lain, status Agus sebagai penyandang menimbulkan pertanyaan mengenai bagaimana sistem hukum memperlakukannya secara adil.

Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang , individu dengan memiliki hak untuk mendapatkan perlakuan khusus dalam sistem peradilan. Namun, apakah ini berarti pelaku seharusnya mendapatkan keringanan hukum?

Menurut Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), penegakan hukum dalam kasus ini harus mengacu pada Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS).

“Hak penyandang memang harus diperhatikan, tetapi dalam kasus kekerasan seksual, keadilan bagi korban harus menjadi prioritas utama,” ujar Komisioner Komnas Perempuan dalam sebuah pernyataan.

Pemeriksaan terhadap Agus sebagai tersangka berlanjut hingga pada sidang yang digelar baru-baru ini. Jaksa penuntut umum akhirnya mendakwa Agus dengan ancaman hukuman 12 tahun penjara dan denda sebesar Rp300 juta, sesuai dengan Pasal 6A dan atau Pasal 6C juncto Pasal 15 huruf E Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS).

Selama proses hukum berlangsung, Agus sempat mengajukan permohonan untuk menjadi tahanan rumah dengan alasan kondisi disabilitasnya. Namun, majelis hakim Pengadilan Negeri Mataram menolak permintaan tersebut, dan Agus tetap ditahan di Lapas Kelas II A Lombok Barat.

Dampak sosial dari kasus ini juga tidak bisa diabaikan. Perkembangan terbaru menunjukkan bahwa proses hukum terhadap masih berlangsung, dengan agenda persidangan yang terus berlanjut.

Kasus ini menjadi sorotan publik karena melibatkan pelaku dengan , sehingga menimbulkan perdebatan mengenai penegakan hukum yang adil dan perlindungan hak-hak penyandang disabilitas.

Muncul kekhawatiran bahwa kasus ini dapat memperburuk stigma terhadap penyandang disabilitas, yang selama ini masih sering mendapat diskriminasi di berbagai aspek kehidupan. Di sisi lain, ada juga kekhawatiran bahwa kasus ini bisa digunakan untuk meringankan tanggung jawab hukum pelaku dengan alasan disabilitas, yang tentu akan menjadi preseden buruk dalam kasus kejahatan seksual.

Solusi terbaik adalah pendekatan yang seimbang. Penegak hukum harus memastikan bahwa tersangka mendapatkan hak-haknya sebagai penyandang disabilitas, tetapi tanpa mengabaikan hak-hak korban. Selain itu, sistem hukum juga perlu lebih responsif dalam menangani kasus kekerasan seksual, terutama yang melibatkan kelompok rentan seperti anak-anak dan perempuan.

Pada akhirnya, kasus bukan hanya tentang seorang pelaku dan para korbannya, tetapi juga tentang bagaimana masyarakat dan sistem hukum kita merespons kejahatan seksual dengan tetap menjunjung tinggi keadilan dan hak asasi manusia.***

Penulis adalah Mahasiswi Sekolah Vokasi IPB jurusan Komunikasi Digital dan Media.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here