Oleh: Louisa Sagita Utari Sawitri
Mahasiswa Komunikasi Digital dan Media, Sekolah Vokasi IPB
Pada awal Februari 2025, pemerintah telah mengumumkan pemotongan anggaran pendidikan untuk tahun ini, yang memicu gelombang protes mahasiswa di berbagai daerah. Tagar #IndonesiaGelap menggema di media sosial sebagai bentuk kritik terhadap kebijakan ini.
Para mahasiswa menilai bahwa pengurangan anggaran akan berdampak langsung pada kualitas pendidikan, akses beasiswa, dan fasilitas belajar.
Namun, lebih dari sekadar protes konvensional, gerakan ini menunjukkan bagaimana media digital menjadi alat utama dalam menggalang dukungan dan membentuk opini publik.
Jika dahulu aksi massa bergantung pada demonstrasi fisik, kini perlawanan mahasiswa turut berlangsung di dunia digital dengan strategi komunikasi yang matang.
Media Sosial Sebagai Senjata Baru Perjuangan Mahasiswa
Dulu, gerakan mahasiswa hanya mengandalkan aksi turun ke jalan dan menyebarkan selebaran.
Kini, dengan hadirnya media sosial, gerakan sosial dapat menyebar lebih cepat dan luas. Tagar #IndonesiaGelap dalam beberapa minggu lalu menjadi trending topic di berbagai platform, menandakan bahwa isu ini mendapat perhatian besar dari masyarakat.
Platform seperti Twitter dan Instagram digunakan untuk membagikan informasi, opini, serta koordinasi aksi.
Dengan algoritma yang memungkinkan konten viral dalam waktu singkat, media sosial telah menjadi kekuatan baru dalam advokasi kebijakan publik.
Selain menyebarkan kesadaran, media sosial juga berfungsi sebagai alat tekanan politik.
Melalui unggahan yang menarik perhatian publik, mahasiswa dapat mengajak lebih banyak orang untuk bergabung dalam gerakan ini.
Misalnya, video yang memperlihatkan kondisi buruk fasilitas kampus akibat pemotongan anggaran dapat menjadi bukti nyata yang sulit dibantah.
Dengan strategi komunikasi visual dan narasi yang kuat, pesan gerakan ini dapat menyentuh emosi masyarakat luas, menciptakan solidaritas yang lebih besar.
Framing Media Antara Pemberitaan Netral dan Stigmatisasi
Selain media sosial, peran media massa dalam membingkai gerakan ini juga menarik untuk dibahas.
Beberapa media mainstream memberitakan aksi mahasiswa secara netral, menyoroti tuntutan mereka tanpa bias.
Namun, ada juga media yang melakukan framing terhadap aksi ini sebagai bentuk “keributan” atau “gangguan ketertiban umum”.
Pola pemberitaan ini menunjukkan bagaimana framing media dapat memengaruhi cara publik memandang gerakan mahasiswa.
Media independen seperti Tirto, Narasi, dan Magdalene seringkali memberikan liputan yang lebih mendalam dan kritis terhadap kebijakan pemerintah.
Sementara itu, beberapa media televisi dan cetak cenderung lebih berhati-hati dalam menampilkan kritik.
Ini menunjukkan bahwa tidak semua media memiliki kebebasan atau keberanian yang sama dalam mengangkat isu sensitif seperti pemotongan anggaran pendidikan.
Selain framing dalam media nasional, perlu juga diperhatikan bagaimana media internasional melihat isu ini.
Dalam beberapa kasus, perhatian media asing terhadap gerakan sosial di Indonesia mampu meningkatkan tekanan terhadap pemerintah untuk merespons dengan lebih serius.
Jika protes ini mendapat perhatian global, pemerintah mungkin akan menghadapi tantangan reputasi yang lebih besar.
Disinformasi dan Tantangan Gerakan Digital
Meski media sosial menjadi alat perjuangan yang efektif, tantangan besar dalam gerakan digital adalah penyebaran disinformasi.
Banyak akun anonim atau bot yang menyebarkan narasi untuk melemahkan gerakan mahasiswa, seperti tuduhan bahwa protes ini ditunggangi kepentingan politik tertentu.
Tantangan ini mengharuskan masyarakat untuk memiliki literasi digital yang baik agar dapat memilah informasi yang benar dan tidak mudah termakan hoaks.
Salah satu strategi untuk menangkal disinformasi adalah dengan memverifikasi informasi dari berbagai sumber.
Mahasiswa yang tergabung dalam gerakan ini juga harus mengedepankan transparansi dalam menyampaikan data dan fakta, sehingga tidak mudah dipatahkan oleh narasi kontra.
Selain itu, edukasi digital kepada masyarakat luas juga menjadi langkah penting agar setiap individu dapat lebih kritis dalam menerima informasi di media sosial.
Sebagai seseorang yang bergerak di bidang komunikasi digital dan media, saya melihat bahwa fenomena ini adalah bukti bahwa kekuatan informasi tidak lagi dimonopoli oleh media konvensional.
Publik memiliki peran aktif dalam membentuk narasi dan mengontrol wacana di ruang digital.
Namun, tantangan terbesar tetap pada bagaimana menjaga kredibilitas informasi dan memastikan bahwa gerakan sosial tetap memiliki arah yang jelas dan berdampak nyata.
Peran Strategis Media dalam Gerakan Sosial
Protes #IndonesiaGelap bukan hanya tentang pemotongan anggaran pendidikan, tetapi juga refleksi dari bagaimana media digital telah mengubah gambaran perjuangan sosial.
Mahasiswa dan masyarakat kini memiliki alat yang lebih kuat untuk menekan kebijakan pemerintah, tetapi tantangan dalam literasi digital juga semakin besar.
Pemerintah perlu memahami bahwa komunikasi kebijakan tidak lagi dapat dilakukan secara sepihak. Respons yang lambat atau tidak transparan hanya akan memperburuk persepsi publik.
Di sisi lain, mahasiswa dan aktivis harus terus menguatkan strategi komunikasi mereka, tidak hanya dalam mobilisasi massa, tetapi juga dalam membangun narasi yang berbasis data dan fakta.
Selain itu, publik juga perlu lebih aktif dalam mendukung gerakan sosial yang relevan dengan kepentingan bersama.
Masyarakat memiliki peran penting dalam menyebarkan informasi yang valid dan menekan pemerintah untuk lebih transparan dalam kebijakan pendidikan.
Jika gerakan ini terus berkembang dan didukung dengan komunikasi yang baik, bukan tidak mungkin kebijakan pemotongan anggaran bisa direvisi atau bahkan dibatalkan.
Ketika ruang kelas menjadi gelap karena pemotongan anggaran, media sosial menjadi cahaya yang menerangi perjuangan mahasiswa. Pertanyaannya, apakah pemerintah akan mendengarkan?***