Bogordaily.net – Cancel culture telah menjadi fenomena besar di media sosial yang secara signifikan mempengaruhi reputasi individu di era digital yang serba cepat ini.
Fenomena ini muncul ketika seseorang, baik individu biasa maupun figur publik, mengungkapkan pendapat atau melakukan tindakan yang dianggap kontroversial atau bertentangan dengan norma sosial tertentu.
Reaksi dari masyarakat sering kali datang dalam bentuk kritik tajam, boikot, hingga seruan untuk mengisolasi individu tersebut dari ruang publik digital.
Media sosial seperti Twitter, Instagram, dan TikTok menjadi alat utama dalam menyebarkan gelombang reaksi ini, memungkinkan sebuah isu kecil berkembang menjadi perbincangan global hanya dalam hitungan jam.
Fenomena cancel culture membawa dampak langsung terhadap reputasi seseorang. Reaksi kolektif yang masif dari warganet dapat merusak citra publik seseorang secara instan, bahkan menghapus jejak digital mereka melalui seruan boikot atau penghentian dukungan.
McDermott (2019) menyebutkan bahwa cancel culture merupakan bentuk pengucilan sosial modern yang difasilitasi oleh teknologi komunikasi.
Media sosial mempercepat dan memperluas efek pengucilan ini, melampaui batas geografis dan menciptakan tekanan sosial yang luar biasa bagi individu yang menjadi targetnya.
Salah satu contoh nyata yang menunjukkan bagaimana cancel culture berdampak secara signifikan terhadap reputasi individu dapat dilihat dalam konteks solidaritas terhadap Palestina.
Banyak figur publik, aktivis, hingga influencer yang mengalami konsekuensi serius di dunia digital setelah secara terbuka menyuarakan dukungan mereka terhadap Palestina di tengah konflik yang berlangsung.
Misalnya, Bella Hadid, seorang supermodel keturunan Palestina, menghadapi gelombang cancel culture setelah mengunggah dukungan terbuka untuk Palestina di akun Instagram-nya yang memiliki jutaan pengikut.
Bella secara vokal mengkritik tindakan kekerasan yang dilakukan terhadap warga sipil Palestina, yang kemudian memicu reaksi keras, terutama dari kelompok-kelompok yang pro-Israel.
Setelah unggahannya viral, Bella Hadid menerima serangan balik yang masif. Ia menjadi target kampanye disinformasi, doxing, hingga ancaman boikot terhadap brand-brand yang bekerja sama dengannya.
Beberapa brand besar bahkan dikabarkan mempertimbangkan ulang kerja sama mereka karena takut terkena dampak reputasi akibat asosiasi dengan Bella.
Situasi ini memperlihatkan bagaimana cancel culture tidak hanya berdampak pada individu sebagai pribadi, tetapi juga pada karier profesional mereka.
Meskipun Bella tetap teguh pada pendiriannya, tekanan dari media dan publik menciptakan lingkungan yang penuh risiko bagi figur publik yang berbicara tentang isu-isu kontroversial, terutama yang terkait dengan geopolitik.
Dampak cancel culture terhadap Bella Hadid menunjukkan bahwa cancel culture bukan hanya tentang menghukum perilaku bermasalah, tetapi juga bisa digunakan sebagai alat untuk membungkam suara-suara yang dianggap tidak sejalan dengan arus dominan di media sosial.
Hal ini menimbulkan pertanyaan kritis tentang kebebasan berekspresi di era digital: sejauh mana seseorang bisa bebas mengungkapkan pendapatnya tanpa takut akan konsekuensi sosial yang berat?
Namun, tidak semua efek dari cancel culture bersifat negatif. Chiuo (2020) menyatakan bahwa meskipun sering kali bersifat ekstrem, cancel culture juga dapat menjadi alat untuk mendorong perubahan sosial.
Dalam beberapa kasus, cancel culture membantu menyoroti isu-isu penting yang sebelumnya terabaikan, seperti ketidakadilan sosial, diskriminasi, dan pelanggaran hak asasi manusia.
Gelombang dukungan terhadap Palestina yang muncul di media sosial, meskipun diwarnai kontroversi, berhasil menarik perhatian global terhadap situasi yang selama ini kurang mendapatkan sorotan di media arus utama.
Penting untuk disadari bahwa meskipun cancel culture dapat merusak reputasi seseorang dalam jangka pendek, media sosial juga memberikan peluang bagi individu untuk membangun kembali citra mereka.
Di sinilah peran komunikasi digital menjadi sangat penting. Melalui media sosial, individu yang menjadi target cancel culture dapat memberikan klarifikasi, menyampaikan permintaan maaf secara publik, atau bahkan memperkuat posisi mereka dengan mengedukasi audiens tentang sudut pandang mereka.
Komunikasi yang bijak, transparan, dan empatik menjadi kunci untuk mengatasi dampak negatif yang timbul dari cancel culture.
Selain itu, media sosial juga bisa dimanfaatkan untuk menciptakan ruang diskusi yang lebih konstruktif. Masyarakat perlu didorong untuk memberikan kritik yang membangun, bukan sekadar mengecam atau menghakimi.
Seperti yang dijelaskan oleh McDermott (2019), komunikasi yang reflektif dan berbasis pemahaman bersama dapat membantu meredakan ketegangan yang muncul akibat cancel culture.
Dengan pendekatan yang lebih inklusif, media sosial bisa menjadi tempat untuk dialog yang sehat, di mana perbedaan pendapat tidak selalu berujung pada pengucilan atau pembungkaman suara.
Secara keseluruhan, cancel culture adalah fenomena yang kompleks dengan dampak yang sangat signifikan terhadap reputasi individu di era digital.
Meskipun memiliki potensi untuk mendorong perubahan sosial yang positif, cancel culture juga bisa menjadi alat yang merusak jika tidak diimbangi dengan pemahaman kritis dan komunikasi yang bijak.
Oleh karena itu, penting bagi masyarakat digital untuk mengedepankan empati, refleksi, dan dialog terbuka dalam merespons isu-isu yang kontroversial. Dengan begitu, kita dapat membangun ekosistem media sosial yang lebih sehat dan konstruktif di tengah arus informasi yang begitu cepat dan dinamis.***
Nayyara Alya Fazila
Mahasiswa Komunikasi Digital dan Media, Sekolah Vokasi IPB