Monday, 17 March 2025
HomeOpiniDiangkat ke Puncak, Dijatuhkan Sekejap: Cancel Culture dalam Dunia Entertainment

Diangkat ke Puncak, Dijatuhkan Sekejap: Cancel Culture dalam Dunia Entertainment

Oleh: Anatasya Disha Mahasiswa Prodi Komunikasi Digital dan Media

Fenomena cancel culture atau budaya boikot semakin menjadi sorotan dalam beberapa tahun terakhir, terutama dengan berkembangnya media sosial sebagai platform utama komunikasi publik. Cancel culture merujuk pada tindakan kolektif masyarakat untuk memboikot atau mengabaikan individu, biasanya figur publik, yang dianggap melakukan kesalahan atau perilaku yang tidak pantas. Fenomena ini tidak hanya terbatas pada dunia internasional, tetapi juga telah mengakar kuat di Indonesia.

Belakangan ini, cancel culture kembali ramai diperbincangkan di Indonesia setelah kontroversi yang melibatkan CodeBlu yang merupakan seorang food reviewer yang dinilai terlalu kritis hingga sampai di titik dimana review-nya tersebut dinilai merugikan banyak usaha kuliner. Di awal tahun, hal serupa juga terjadi pada Abidzar, pemeran utama dalam film remake “A Business Proposal.” Film ini mendapatkan kritik keras dari publik dan mengalami penurunan jumlah penonton serta rating rendah. Dilansir dari beberapa media online, kontroversi bermula ketika Abidzar dianggap tidak profesional karena tidak sepenuhnya membaca webtoon atau menonton drama Korea asli yang di-remake. Ia mengaku hanya mendalami perannya berdasarkan skrip yang ada dan dengan percaya diri menyatakan ingin membangun karakternya sendiri. Pernyataan Abidzar yang menganggap penggemar drama Korea di Indonesia sebagai fanatik, serta sikapnya yang arogan dalam menanggapi kritik warganet, memperburuk situasi dan memicu gelombang cancel culture terhadap dirinya.

Penjelasan tentang cancel culture

Secara umum, cancel culture adalah fenomena di mana individu atau kelompok secara kolektif menarik dukungan dari seseorang yang dianggap melakukan kesalahan atau melanggar norma sosial. Altamira dan Movementi (2023) menyatakan bahwa pelabelan cancel culture sering disematkan pada figur publik yang mengecewakan atau dianggap tidak berperilaku baik. Akibatnya, mereka kehilangan kepercayaan publik dan seringkali mengalami konsekuensi serius dalam karier dan kehidupan pribadi mereka.

Fenomena cancel culture mulai berkembang secara signifikan pada tahun 2016-2017 dengan tujuan utama untuk mengecam selebritas atau artis yang bermasalah (Jaafar & Herna, 2023). Di Indonesia, budaya boikot ini mulai mengakar pada tahun 2019 dan sebagian besar terjadi di media sosial seperti Twitter, Instagram, TikTok, dan YouTube. Menurut Kurniawan et al. (2022), “Cancel culture semakin umum terjadi terutama setelah internet berhasil menguasai aktivitas sosial manusia.” Ini menunjukkan bagaimana teknologi digital mempercepat dan memperluas dampak dari fenomena ini.

Putri et al. (2023) menambahkan bahwa, “Cancel culture dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti kepemilikan media, wacana publik dan politik, serta diskusi seputar batas-batas kebebasan berbicara di era digital.” Ini menunjukkan bahwa cancel culture tidak hanya sekadar reaksi spontan dari masyarakat, tetapi juga dipengaruhi oleh dinamika yang lebih luas dalam struktur sosial dan politik.

Dampak positif dan negatif cancel culture

Fenomena cancel culture membawa dampak yang beragam, baik positif maupun negatif, terhadap komunikasi online dan kehidupan sosial secara umum.

  1. Dampak Positif

Meningkatkan kesadaran sosial: Cancel culture dapat menjadi alat untuk meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap isu-isu penting seperti diskriminasi, pelecehan, atau perilaku tidak etis lainnya.

Akuntabilitas publik: Fenomena ini mendorong figur publik untuk lebih berhati-hati dalam bertindak dan berbicara karena mereka sadar bahwa tindakan mereka diawasi oleh publik.

Pemberdayaan suara masyarakat: Melalui media sosial, masyarakat memiliki platform untuk menyuarakan ketidakpuasan mereka terhadap perilaku figur publik atau institusi yang tidak sesuai dengan nilai-nilai yang mereka anut.

  1. Dampak Negatif

Resiko cyberbullying: Cancel culture sering kali berubah menjadi serangan pribadi yang berlebihan, di mana kritik yang seharusnya konstruktif berubah menjadi cyberbullying.

Penghakiman tanpa fakta lengkap: Banyak kasus di mana individu atau organisasi dihukum oleh opini publik sebelum ada klarifikasi atau bukti yang cukup. Ini bisa menyebabkan ketidakadilan.

Dampak psikologis: Individu yang menjadi sasaran cancel culture dapat mengalami tekanan psikologis yang berat, kehilangan pekerjaan, dan kerusakan reputasi yang signifikan (Putri et al., 2023).

Bagaimana seharusnya masyarakat menanggapi fenomena ini?

Fenomena cancel culture menuai pro dan kontra di masyarakat. Di satu sisi, masyarakat memiliki hak untuk mengkritik dan menuntut akuntabilitas dari figur publik. Namun, penting juga untuk tetap bijak dalam menanggapi fenomena ini. Kritik yang disampaikan seharusnya bersifat membangun dan tidak berubah menjadi serangan pribadi atau cyberbullying yang berlebihan.

Masyarakat perlu memahami batasan antara memberikan kritik yang konstruktif dan melakukan penghakiman yang tidak adil. Dalam era digital ini, di mana informasi dapat dengan cepat menyebar, kita harus memverifikasi kebenaran suatu informasi sebelum ikut serta dalam arus cancel culture. Selain itu, memberikan kesempatan bagi individu untuk memperbaiki kesalahan mereka juga merupakan langkah yang lebih bijaksana.

Akhir kata, cancel culture adalah fenomena yang mencerminkan kekuatan masyarakat dalam mempengaruhi perilaku figur publik. Namun, kekuatan ini harus digunakan dengan penuh tanggung jawab agar tidak berubah menjadi alat penghancur yang merugikan semua pihak.

 

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here