Bogordaily.net – Langit masih pekat ketika Kami meninggalkan Bogor, membawa ransel berat yang berisi lebih dari sekadar logistik: ada keyakinan, ada keraguan, ada sejumput keberanian yang entah akan bertahan sampai kapan. Di depan sana, Merbabu sudah menunggu. Ia berdiri setinggi 3.142 meter di atas permukaan laut, membentangkan sabana dan tanjakannya seakan berkata, “Datanglah jika kau cukup berani!”
Gunung Merbabu, yang namanya berasal dari kata “meru” (gunung) dan “babu” (abu), adalah gunung berapi yang kini berstatus tidak aktif. Namun, sejarah mencatat bahwa gunung ini pernah meletus pada 1560 dan 1797.
Jalur pendakiannya terkenal dengan sabana luas yang menawarkan pemandangan spektakuler, dengan Gunung Merapi yang berdiri gagah di sisi selatannya.
Kami memilih jalur pendakian via Selo, jalur yang paling populer karena keindahannya, tetapi juga dikenal dengan tanjakan-tanjakan yang menguras tenaga.
Kami tiba di Boyolali saat pagi masih muda. Udara dingin segera menyergap, membuat kami sadar bahwa perjalanan ini bukan sekadar gagasan dalam kepala, bukan sekadar rencana yang diceritakan di meja kopi.
Di basecamp, setiap barang diperiksa dengan teliti. Merbabu bukan gunung yang membiarkan dirinya dikotori. Puntung rokok, bungkus makanan, plastik kecil sekalipun—semua harus kembali dengan jumlah yang sama seperti saat berangkat. Gunung ini tak hanya meminta pendakian, tapi juga pertanggungjawaban.
Pukul sembilan, kami mulai melangkah. Awalnya, kaki masih ringan, nafas masih panjang. Jalur dari basecamp menuju Pos 1 memberi kesempatan untuk mengenal medan: akar-akar pohon yang mencuat dari tanah, batuan yang tersebar, dan hawa sejuk yang belum mengancam. Tapi ini hanya awal.
Dari Pos 1 ke Pos 2, tanjakan mulai menampakkan sifat aslinya. Tidak ada lagi kelonggaran bagi langkah-langkah santai. Lutut mulai terasa beban, dan napas yang tadinya ritmis kini terdengar lebih kasar. Kami berhenti lebih sering, mencari alasan untuk sekadar menengadah ke langit, berharap mendung turun sebagai dalih untuk beristirahat lebih lama.
Di tengah perjalanan, Zikri, salah satu dari kami, mulai mengeluhkan kakinya yang keram. Awalnya, kami pikir ia hanya perlu beristirahat sejenak. Namun, ketika ia mencoba melangkah lagi, rasa sakitnya semakin menjadi.
Sidqi, leader kami, segera bertindak. Ia merobek selembar kain dari jaketnya, lalu mengikatkannya dengan kencang di sekitar kaki Zikri. “Coba jalan pelan-pelan,” katanya. Keajaiban kecil terjadi: rasa sakitnya mulai mereda. Dengan langkah tertatih, Zikri kembali bergerak.
Di Pos 3, perjalanan mulai menguji bukan hanya tubuh, tapi juga kepala. Pertanyaan-pertanyaan menyerang tanpa ampun. Kenapa kita melakukan ini? Apa gunanya? Seberapa jauh lagi? Namun, semua keraguan itu terhapus saat kami mencapai Pos 4, yang dikenal sebagai Sabana 1.
Langkah-langkah yang berat akhirnya menemukan tempat untuk berhenti. Matahari mulai condong ke barat, menyepuh padang rumput luas dengan warna emas.
Merbabu menghadiahi kami dengan pemandangan yang sepadan dengan perjalanan panjang ini—jajaran bukit yang lembut, lautan awan yang bergerak pelan, dan ketenangan yang tak pernah ada di kota.
Kami mendirikan tenda di sana, tanpa menyadari bahwa kami memilih tempat yang menantang. Tenda kami berdiri di samping tebing, di mana angin dari lembah di bawah menghantam dengan ganas.
Ketika malam tiba, hembusan angin semakin kuat, mengguncang dua tenda kami seakan hendak mencabutnya dari tanah. Kami terjaga di tengah malam, mendengar suara gemuruh angin yang berdesir di antara celah-celah tenda.
Di luar, udara semakin dingin, membuat kami merapatkan jaket dan membenamkan tubuh ke dalam sleeping bag. Beberapa kali, kami harus keluar hanya untuk memastikan pasak tenda tetap kokoh menahan terpaan angin.
Tak hanya angin, suhu yang terus menurun juga menjadi tantangan lain. Satu per satu dari kami mulai merasakan udara dingin yang menusuk hingga ke tulang. Percakapan yang semula ramai perlahan meredup, tergantikan dengan suara angin yang mendominasi.
Beberapa di antara kami mencoba tidur, tetapi setiap embusan angin yang lebih kencang selalu membangunkan kami dengan rasa waspada. Malam itu terasa begitu panjang.
Beberapa kali kami mencoba menyalakan kompor kecil untuk menghangatkan tubuh dengan secangkir teh panas, tetapi angin yang kencang membuat api sulit dinyalakan.
Pukul tiga pagi, alarm berbunyi. Tubuh menolak bangkit, kantuk masih mencengkeram, tapi summit menunggu. Kami mulai berjalan dalam gelap, diterangi senter kepala yang lebih banyak mengungkap bayangan tubuh sendiri daripada jalur di depan.
Angin dingin menyelinap ke dalam jaket, menguji tekad satu per satu. Jalur semakin menanjak, membuat kami harus melangkah dengan penuh kehati-hatian. Setiap langkah terasa seperti pertarungan melawan rasa lelah dan dingin yang semakin menjadi-jadi.
Beberapa dari kami mulai merasa pusing akibat kadar oksigen yang menipis. Napas terasa berat, dan langkah kaki seolah kehilangan tenaga. Namun, kami saling menyemangati. Satu kalimat sederhana seperti “Ayo, dikit lagi!” atau “Bisa ini!” cukup untuk membuat kami terus berjalan.
Sampai akhirnya, fajar mulai menyala di ufuk timur. Cahaya pelan-pelan merayap naik, menyingkap awan yang menggumpal di bawah. Langit berwarna oranye, lalu merah muda, lalu biru lembut.
Dan di sanalah Kami, berdiri di puncak, melihat dunia dari atas. Semua pertanyaan di perjalanan kini terjawab dengan diam.
Beberapa dari Kami tak bisa menahan emosi, ada yang tersenyum lebar, ada yang duduk terdiam menikmati pemandangan. Rasa lelah, dingin, dan letih yang kami alami sebelumnya seolah menguap begitu saja.
Merbabu memberikan kami hadiah terbaik—panorama yang hanya bisa dinikmati oleh mereka yang berani mengambil langkah.
Turun dari gunung seringkali lebih berat daripada naik. Lutut bergetar, kaki terasa lebih rapuh. Tapi ada hal lain yang membuat kami tertegun—jalur yang kami lewati dalam perjalanan naik. Di puncak, Kami melihatnya dari kejauhan.
Jalur itu menanjak, panjang, dan tak masuk akal. Tapi anehnya, saat menaikinya tadi, kami tidak benar-benar menyadari betapa sulitnya. Kami hanya melangkah, satu demi satu, hingga akhirnya sampai.
Sama seperti hidup. Tak ada yang tahu seberapa jauh seseorang bisa pergi sampai ia mencoba. Tak ada yang bisa memprediksi batas diri sampai ia berjalan lebih jauh dari yang ia kira mampu.
Kami naik Merbabu dengan penuh keraguan, tapi kami turun dengan satu kesadaran: langkah kecil yang terus bergerak akan selalu lebih berharga daripada rencana besar yang tak pernah dimulai.***
Muhammad Umar Budiman
Mahasiswa Komunikasi Digital dan Media Sekolah Vokasi IPB.