Friday, 21 March 2025
HomeBeritaPeningkatan Kompetensi Guru: Sebuah Pergulatan Panjang Sebuah Bangsa

Peningkatan Kompetensi Guru: Sebuah Pergulatan Panjang Sebuah Bangsa

Oleh: Muhammad Umar Budiman, Mahasiswa Komunikasi Digital dan Media, Sekolah Vokasi IPB

Dari sekian banyak pekerjaan di dunia, barangkali dan dirasa benar; menjadi guru adalah yang paling tak terlihat hasilnya, paling lambat menuai, namun halnya paling menentukan arah suatu bangsa. Seorang dokter menyembuhkan tubuh yang luka, tetapi seorang guru? Ia membangun, mendidik, juga memberi jalan pada manusia dan hari depannya—dalam keseluruhan hidupnya.

Namun, mereka yang dituntut membentuk masa depan justru dibiarkan tertinggal, berjuang sendiri dalam ketidaktahuan yang sistemik.

Lalu, bagaimana mungkin sebuah bangsa berharap maju jika pilar-pilar pendidikannya rapuh? Bagaimana mungkin kita berbicara tentang masa depan jika mereka yang bertugas membentuknya justru dibiarkan berjalan tanpa pegangan?

Peningkatan kompetensi guru bukan sekadar formalitas, bukan proyek pelatihan yang berakhir di lembar laporan. Ia adalah sebuah pergulatan panjang sebuah bangsa.

Setiap ketidakadilan harus dilawan, walaupun hanya dalam hati. Dan seorang Pramoedya bilang seorang terpelajar harus berlaku adil sudah sejak dalam pikiran, apalagi perbuatan. Maka bukankah membiarkan guru tertinggal dalam kebodohan struktural adalah sebuah ketidakadilan?

Jadi Guru dan Murid Sekaligus, Seorang guru bukanlah tempat bersemayamnya kebenaran mutlak. Sebagaimana murid, ia pun harus belajar, harus beradaptasi, harus menyusun ulang pemahamannya seiring dengan perubahan zaman.

Dunia terus berkembang, pun juga ilmu pengetahuannya, bergerak tanpa menunggu siapa pun, dan hanya guru yang bersedia menjadi murid yang dapat bertahan dalam arus ini. Apakah yang terjadi jika guru tidak diberikan kesempatan untuk belajar?

Jika ia hanya dituntut mengajar tanpa diberikan ruang yang memadai untuk meningkatkan dirinya? Sistem yang menganggap guru sebagai mesin penyampai ilmu, tanpa kebutuhan untuk berkembang, adalah juga yang menghancurkan masa depan.

Sebab, bagaimana mungkin seorang guru yang tak pernah diberi ruang untuk belajar dapat melahirkan murid-murid yang kritis dan tajam pikirannya?

Di banyak tempat, pendidikan masih diperlakukan sebagai beban administratif, bukan sebuah ekosistem yang harus terus dipupuk dan dikembangkan. Seorang guru tidak hanya butuh pengakuan, tetapi juga dukungan nyata dalam bentuk akses terhadap ilmu terbaru, metode pengajaran mutakhir, hingga kesempatan untuk berjejaring dan bertukar gagasan. Ketidakadilan bukan hanya dalam bentuk gaji yang kecil atau fasilitas yang minim, tetapi juga dalam bentuk pembiaran terhadap ketertinggalan mereka.

Kasus-kasus nyata di Indonesia menggambarkan betapa guru masih berjuang sendirian dalam keterbatasan. Di daerah terpencil, banyak guru yang harus menempuh perjalanan berjam-jam, melewati medan sulit, hanya untuk mengajar di sekolah dengan fasilitas seadanya.

Sebagian dari mereka adalah guru honorer yang sudah mengabdi bertahun-tahun dengan gaji di bawah standar hidup layak, tanpa kepastian status kepegawaian. Beberapa kebijakan peningkatan kualitas guru pun masih terjebak dalam seremonial belaka, seperti pelatihan yang hanya bersifat formalitas tanpa pendampingan berkelanjutan. Jika kita menutup mata terhadap kenyataan ini, kita sedang membiarkan masa depan bangsa terabaikan.

Bahasa kasih sayang yang tidak diarahkan pada masa depan yang lebih pelik dan beragam adalah juga kekeliruan yang harus dibetulkan. Menghormati guru bukan hanya dengan kata-kata, tetapi dengan memastikan bahwa mereka tidak berjalan sendirian dalam tugasnya.

Negara, masyarakat, dan seluruh ekosistem pendidikan harus menjadi bagian dari usaha ini. Tanpa kasih sayang kepada mereka yang mendidik, tanpa perhatian yang sungguh-sungguh terhadap perkembangan mereka, bagaimana kita bisa berharap generasi mendatang akan tumbuh dengan ilmu yang luas dan jiwa yang besar?

Maka, perjuangan ini bukan sekadar untuk guru, melainkan untuk semua. Sebab pendidikan adalah urusan bersama, dan peningkatan kompetensi guru adalah syarat mutlak bagi peradaban yang ingin terus hidup. Jika kita masih diam melihat ketidakadilan ini, maka kita pun bagian dari kebobrokan yang membiarkan harapan bangsa berjalan pincang.

Pendidikan bukan sekadar persoalan kurikulum yang diubah setiap pergantian menteri, bukan hanya tentang bangunan sekolah yang dicat ulang saat pejabat datang berkunjung. Pendidikan adalah denyut nadi suatu bangsa, dan guru adalah jantungnya.

Jika jantung melemah, bagaimana mungkin darah kehidupan bisa mengalir dengan baik? Kita tidak bisa terus berharap dari mereka yang dibiarkan bertahan sendiri di dalam keterbatasan.

Sudah saatnya kita berhenti bicara tentang pendidikan hanya dalam seminar dan pidato seremonial. Sudah saatnya kita benar-benar mendengar suara mereka yang selama ini dipaksa bertahan dalam diam. Karena jika seorang guru tetap dibiarkan berjalan tanpa cahaya, maka kita semua sedang berjalan menuju kegelapan yang lebih pekat.***

 

 

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here