Bogordaily.net – Bagi Dyah Prabandari, SP, M.Si, ekowisata bukan sekadar perjalanan menikmati keindahan alam, tetapi juga ruang bagi pemberdayaan masyarakat dan inklusivitas. Sebagai akademisi dan peneliti, ia telah menghabiskan bertahun-tahun mendalami bagaimana ekowisata dapat berkembang tanpa meninggalkan aspek sosial dan lingkungan.
Dari Sosial Ekonomi ke Ekowisata
Lahir di Banyuwangi pada 9 September 1977, Dyah menempuh pendidikan sarjana di Institut Pertanian Bogor (IPB), mengambil jurusan Sosial Ekonomi Pertanian yang kini dikenal sebagai Program Studi Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat (SKPM). Ketertarikannya terhadap interaksi sosial dan pembangunan masyarakat mendorongnya untuk melanjutkan studi magister di bidang Manajemen Ekowisata dan Jasa Lingkungan di Fakultas Kehutanan IPB.
Meskipun berasal dari disiplin sosial ekonomi, Dyah melihat ekowisata sebagai bidang yang luas dan multidisiplin. Ia tertarik pada bagaimana ekowisata tidak hanya menyangkut aspek lingkungan, tetapi juga ekonomi, budaya, serta pengalaman pengunjung. Baginya, pendekatan sosial menjadi kunci agar masyarakat dapat berperan aktif dalam mengelola wisata berbasis lingkungan.
Mengajar dan Meneliti Ekowisata Inklusif
Sebagai dosen di IPB University, Dyah Prabandari telah menekuni dunia akademik selama bertahun-tahun, memulai kariernya sebagai asisten dosen sebelum akhirnya menjadi tenaga pengajar tetap. Selain mengajar, ia juga aktif dalam berbagai penelitian dan proyek akademik di bidang ekowisata, salah satunya melalui program Dosen Pulang Kampung: Implementasi Permainan Rekreasi Virtual Pada Lansia Dalam Mencegah Demensia (2024).
Sesuai dengan namanya, Dyah bersama beberapa dosen ekowisata IPB, berkontribusi dalam penelitian yang berkaitan dengan rekreasi bagi kelompok lansia, tepatnya di Panti Sosial Wredha Budi Pertiwi, Kota Bandung, Jawa Barat. Program ini bertujuan untuk membantu mencegah demensia melalui berbagai aktivitas kognitif. Dalam kegiatan ini, lansia diajak untuk mengikuti virtual tour, permainan ingatan, serta aktivitas motorik yang dirancang untuk merangsang daya pikir dan meningkatkan kesejahteraan mereka.
Tantangan Ekowisata di Indonesia
Dalam pandangan Dyah, perkembangan ekowisata di Indonesia masih menghadapi sejumlah tantangan, terutama dalam hal fasilitas bagi penyandang disabilitas. Minimnya aksesibilitas fisik, informasi dalam format braille atau audio untuk tunanetra, serta petunjuk visual yang lebih ramah masih menjadi hambatan bagi wisatawan berkebutuhan khusus.
Ia menekankan bahwa kesadaran dan komitmen pengelola wisata sangat dibutuhkan untuk menciptakan destinasi yang lebih inklusif. Menurutnya, ekowisata yang ramah bagi semua kalangan tidak hanya akan meningkatkan pengalaman wisata, tetapi juga memperluas jangkauan wisatawan.
Misi ke Depan: Mewujudkan Ekowisata yang Lebih Ramah dan Berkelanjutan
Ke depan, Dyah berharap dapat terus berkontribusi dalam dunia akademik dan penelitian di bidang ekowisata. Fokusnya tidak hanya pada pengembangan destinasi wisata, tetapi juga bagaimana wisata bisa menjadi lebih inklusif bagi semua orang, termasuk lansia dan penyandang disabilitas.
Melalui riset dan kolaborasi yang lebih luas, ia ingin melihat lebih banyak destinasi di Indonesia yang menyediakan fasilitas ramah bagi kelompok berkebutuhan khusus. Mulai dari jalur khusus, ruang baca braille, hingga sistem informasi audio-visual yang mendukung pengalaman wisata yang lebih nyaman dan aman.
“Ekowisata itu bukan hanya tempat wisata dengan alam saja, tetapi harus bisa memberdayakan sumber daya manusia yang ada di daerah tersebut dan menciptakan pengalaman wisata yang inklusif bagi semua kalangan,” tutupnya.***
Michelia Aisha Rangkuti, Mahasiswa Sekolah Vokasi IPB