Oleh:Alifya Salma Kamila
Dalam dunia medis, etika dan profesionalisme seharusnya menjadi landasan utama bagi para tenaga kesehatan, termasuk dokter koas yang sedang menjalani pendidikan klinis. Namun, kasus penganiayaan terhadap dokter koas Muhammad Luthfi di Palembang mengungkap realitas lain yang mencoreng nilai-nilai tersebut. Insiden ini bermula dari ketidakpuasan Lady Aurelia terhadap jadwal piket yang ditetapkan Luthfi, hingga berujung pada kekerasan yang dilakukan oleh sopir pribadi keluarganya.
Kasus ini bukan sekadar insiden kekerasan biasa, tetapi juga mencerminkan masalah yang lebih dalam, yakni penyalahgunaan kekuasaan, privilege sosial, serta lemahnya sanksi dalam menegakkan keadilan. Keputusan Universitas Sriwijaya yang awalnya menjatuhkan sanksi Drop Out (DO) terhadap Lady tetapi kemudian menguranginya menjadi skorsing tiga bulan menimbulkan pertanyaan: apakah dunia pendidikan benar-benar berkomitmen menegakkan etika dan tanggung jawab moral?
Privilege dan Ketidakadilan dalam Kasus Lady Aurelia
Kasus penganiayaan terhadap dokter koas Muhammad Luthfi di Palembang menjadi bukti bahwa keadilan masih berpihak kepada mereka yang memiliki privilege. Lady Aurelia, yang menjadi pemicu insiden ini, awalnya dijatuhi sanksi Drop Out (DO) oleh Universitas Sriwijaya, tetapi kemudian hukumannya dikurangi menjadi skorsing tiga bulan. Keputusan ini menimbulkan pertanyaan besar mengenai standar etika dan tanggung jawab moral di dunia akademik, terutama dalam pendidikan kedokteran yang seharusnya menanamkan nilai profesionalisme dan integritas tinggi.
Jika melihat kronologi kejadian, Lady memang tidak melakukan kekerasan secara langsung. Namun, tindakannya yang mengadu kepada ibunya karena tidak ingin menjalani jadwal piket menjadi pemicu utama insiden tersebut. Ibunya, yang merasa tidak terima, kemudian mengatur pertemuan dengan korban, yang akhirnya berujung pada penganiayaan oleh sopir pribadi mereka. Ironisnya, hanya sopir yang dijadikan tersangka, sementara Lady dan ibunya sekadar diperiksa sebagai saksi. Hal ini semakin menunjukkan ketimpangan hukum yang tajam ke bawah tetapi tumpul ke atas.
Keputusan universitas yang mengurangi hukuman Lady dari DO menjadi skorsing juga menimbulkan kekecewaan. Hukuman ini dianggap terlalu ringan dan tidak sebanding dengan dampak yang ditimbulkan. Dunia medis menuntut profesionalisme serta etika yang tinggi, tetapi jika sejak awal sudah ada kelonggaran bagi mereka yang berbuat salah, maka muncul keraguan apakah para calon dokter benar-benar akan menjunjung tinggi tanggung jawab mereka di masa depan.
Privilege seharusnya tidak menjadi alasan untuk menghindari konsekuensi dari perbuatan yang telah dilakukan. Universitas memiliki tanggung jawab tidak hanya dalam aspek akademik, tetapi juga dalam membentuk lulusan yang berintegritas dan bermoral. Jika ketidakadilan seperti ini terus dibiarkan, maka sistem yang timpang akan terus berlangsung, menciptakan generasi yang terbiasa dengan kekebalan hukum. Hal ini tidak hanya merugikan korban, tetapi juga mencoreng citra dunia akademik dan profesi medis secara keseluruhan.
Membangun Keadilan dan Etika dalam Dunia Akademik
Untuk mencegah kasus serupa, universitas harus konsisten menerapkan sanksi tegas terhadap mahasiswa yang melanggar etika, tanpa ada pengecualian bagi yang memiliki privilege. Sanksi seperti DO harus diterapkan jika terbukti melanggar norma akademik dan profesionalisme. Selain itu, sistem hukum perlu lebih objektif dan transparan, tanpa memandang status sosial pelaku, agar kepercayaan publik terhadap peradilan tetap terjaga.
Terakhir, pendidikan kedokteran harus lebih menekankan nilai etika dan integritas, sehingga calon tenaga medis tidak hanya kompeten secara akademik, tetapi juga memiliki tanggung jawab moral yang tinggi. Dengan langkah-langkah ini, diharapkan kasus ketidakadilan seperti ini dapat diminimalisir dan menghasilkan generasi yang menjunjung tinggi keadilan, etika, dan integritas.***