Monday, 31 March 2025
HomeOpiniBanjir Tak Kunjung Usai: Salah Strategi atau Salah Fokus?

Banjir Tak Kunjung Usai: Salah Strategi atau Salah Fokus?

Bogordaily.net – Setiap , wilayah Jabodetabek kembali dilanda yang semakin parah. Berdasarkan estimasi awal dari Deputi Rehabilitasi dan Rekonstruksi Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), kerugian akibat pada tahun 2025 diperkirakan mencapai 800 miliar rupiah.

Fenomena ini menimbulkan pertanyaan kritis, apakah strategi penanggulangan yang diterapkan selama ini benar-benar efektif?

Menurut Erbi Setiawan, peneliti doktoral di Wageningen University & Research sekaligus Executive Director di Water Network Initiative, pendekatan pengendalian di Indonesia masih terlalu berorientasi pada intervensi struktural dan alih fungsi lahan di
kawasan hulu.

Padahal, permasalahan ini jauh lebih kompleks dan memerlukan solusi yang lebih holistik serta berbasis pendekatan ilmiah dan tata kelola yang berkelanjutan.

“Air secara alami mengalir ke daerah yang lebih rendah, tetapi sering kali kita lupa bahwa hujan tidak hanya turun di wilayah hulu. Di Jabodetabek, curah hujan tinggi tidak hanya terjadi di hulu, tetapi juga di sepanjang aliran sungai hingga ke hilir. Jika fokus penanganan hanya pada intervensi alih fungsi lahan di hulu, kita mengabaikan peluang besar untuk mengurangi risiko melalui strategi yang lebih komprehensif,” ujar Erbi.

Ia menambahkan bahwa meskipun alih fungsi lahan di kawasan hulu merupakan salah satu faktor utama yang berkontribusi terhadap di hilir, penanganan yang hanya
berpusat di hulu tidaklah cukup.

Diperlukan pendekatan terpadu yang mencakup seluruh kawasan aliran sungai, dengan mempertimbangkan aspek tata kelola air, kapasitas drainase, serta strategi adaptasi berbasis ekosistem untuk memitigasi dampak secara lebih efektif.

Erbi mencontohkan strategi yang telah sukses diterapkan di Belanda, salah satu negara dengan sistem pengelolaan paling maju di dunia.

Proyek Room for the River memberikan lebih banyak ruang bagi sungai untuk mengalir secara alami dengan memperluas daerah dan menciptakan ruang resapan air.

Selain itu, konsep flood defence multifungsi memungkinkan suatu kawasan yang rawan tetap memiliki manfaat ekologis dan ekonomi saat kondisi normal, namun dapat berubah menjadi area tampungan air saat terjadi banjir.

Dalam konteks Jabodetabek, Erbi menekankan bahwa penanganan banjir harus bersifat holistik dan tidak hanya bergantung pada infrastruktur teknis semata.

“Pembangunan bendungan dan kanal memang dapat membantu mengendalikan banjir, tetapi tanpa perencanaan tata ruang yang tepat, kita hanya menunda masalah, bukan
menyelesaikannya,” jelasnya.

Ia menambahkan bahwa diperlukan kawasan yang secara khusus difungsikan sebagai area retensi air untuk menampung limpasan saat volume air meningkat.

Namun, dalam kondisi normal, ruang-ruang ini dapat dimanfaatkan untuk keperluan rekreasi, fungsi ekologis, maupun area hijau yang mendukung keberlanjutan lingkungan.

Pendekatan ini tidak hanya meningkatkan kapasitas penyerapan air, tetapi juga memberikan manfaat sosial dan ekologi bagi masyarakat.

Selain strategi berbasis tata ruang, pengelolaan sungai memang membutuhkan intervensi struktural guna menjaga kapasitas dan kestabilan aliran air.

Salah satu tantangan terbesar adalah sedimentasi yang dipercepat oleh aktivitas manusia, seperti pembuangan sampah dan limbah ke sungai.

“Kita sering menyalahkan curah hujan tinggi sebagai penyebab banjir, padahal penyempitan sungai akibat sampah dan sedimentasi yang tidak terkelola dengan baik justru menjadi faktor utama yang memperparah kondisi,” tambahnya.

Ia juga menekankan pentingnya perubahan pola pikir dalam mitigasi banjir.

“Selama ini, kita terlalu bergantung pada pemerintah untuk menangani permasalahan banjir, padahal peran masyarakat sama pentingnya. Regulasi yang ketat dari pemerintah harus diiringi dengan kepatuhan dan partisipasi aktif dari masyarakat,” tegasnya.

Lebih lanjut, Erbi mengusulkan pembentukan institusi khusus yang bertanggung jawab atas pengendalian banjir dan pengelolaan sumber daya air secara terintegrasi.

“Saat ini, pengelolaan sumber daya air masih terlalu berfokus pada pembangunan infrastruktur fisik, padahal solusi yang dibutuhkan tidak selalu bersifat struktural. Dengan adanya badan khusus ini, strategi mitigasi dapat lebih terkoordinasi, mencakup tidak hanya pengendalian banjir, tetapi juga pengelolaan air bersih dan limbah sebagai bagian dari
tata kelola sumber daya air yang holistik,” jelasnya.

Ia menambahkan bahwa institusi ini juga dapat berperan dalam mengembangkan mekanisme pembiayaan yang lebih berkelanjutan, termasuk melalui skema public-private
partnership (PPP).

“Dengan keterlibatan sektor publik dan swasta, pengelolaan sumber
daya air dapat dilakukan secara lebih efektif dan berkelanjutan, tanpa sepenuhnya bergantung pada anggaran pemerintah,” ujarnya.

Sebagai contoh, Belanda memiliki sistem Water Authority (Waterschappen) yang bertanggung jawab atas pengelolaan air, mulai dari pencegahan banjir, pengelolaan
kualitas air, hingga distribusi sumber daya air secara efisien.

Water Authority di Belanda bekerja secara independen dengan sumber pendanaan dari pajak air, sehingga pengelolaan air dilakukan secara berkelanjutan tanpa tergantung sepenuhnya pada pemerintah pusat.

Dengan beberapa penyesuaian, implementasi model serupa di Indonesia dapat membantu meningkatkan efektivitas tata kelola air dan mitigasi bencana banjir secara lebih komprehensif.

“Selama kita masih berkutat dengan solusi yang sama, banjir akan terus menjadi masalah tahunan. Saatnya berpikir lebih luas dan menerapkan strategi yang lebih inovatif agar kita
tidak terjebak dalam pola yang sama setiap tahun,” tutup Erbi.***

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here