Monday, 21 April 2025
HomeOpiniFenomena Revenge Bedtime Procrastination: Ketika Media Sosial Mencuri Waktu Tidur Kita

Fenomena Revenge Bedtime Procrastination: Ketika Media Sosial Mencuri Waktu Tidur Kita

Bogordaily.net – Suara notifikasi ponsel berbunyi satu kali. Tangan otomatis meraihnya. “Lima menit saja,” pikir kita, sebelum menyadari waktu telah melompat satu jam ke depan. Tengah malam menjelang pagi, dan kita masih saja menggulir layar, berpindah dari satu video ke video lain, dari Instagram ke TikTok, lalu kembali lagi. Padahal, tubuh sudah lelah, mata sudah berat, dan esok ada tumpukan aktivitas yang menunggu. Fenomena ini bukan sekadar kebiasaan buruk—ia kini punya nama: Revenge Bedtime Procrastination.

Istilah Revenge Bedtime Procrastination pertama kali populer di Tiongkok dengan frasa “bàofùxìng áoyè” yang secara harfiah berarti begadang karena ingin membalas dendam. Dendam apa? Dendam terhadap rutinitas yang padat, pekerjaan yang menyita waktu, atau bahkan sekadar rasa terjebak dalam kehidupan yang terlalu cepat. Ketika siang hari tak memberi ruang untuk bersantai, malam pun dikorbankan untuk mengambil kembali waktu “kebebasan” yang hilang. Ironisnya, waktu yang diambil kembali itu justru merampas esok hari.

Fenomena ini tidak berdiri sendiri. Ia menjamur bersamaan dengan naiknya penggunaan media sosial sebagai bentuk hiburan sekaligus pelarian. Media sosial menawarkan sensasi cepat, ringan, dan memikat. Video berdurasi 15 hingga 60 detik dengan musik seru dan visual menarik terasa seperti permen digital yang tak pernah habis. Fitur infinite scroll atau auto-play membuat pengguna sulit berhenti. Dalam waktu singkat, seseorang bisa menghabiskan dua hingga tiga jam hanya untuk melihat konten ringan yang sebenarnya tidak terlalu berfaedah—dan semuanya dilakukan sambil menunda tidur.

Tidak sedikit orang yang menyadari bahaya di balik kebiasaan ini, namun tetap melakukannya. Salah satu pemicunya adalah FOMO (Fear of Missing Out), atau rasa takut tertinggal dari tren dan kabar terbaru. Perasaan itu membuat kita merasa harus terus “terhubung”, bahkan saat tubuh meminta istirahat. Media sosial, dalam hal ini, menjadi medan yang kuat untuk menciptakan ilusi keterlibatan, padahal yang kita korbankan adalah kesehatan fisik dan mental.

Dampak dari Revenge Bedtime Procrastination tidak main-main. Begadang yang dilakukan secara konsisten bisa menyebabkan kelelahan kronis, penurunan konsentrasi, gangguan mood, bahkan risiko kesehatan jangka panjang seperti tekanan darah tinggi dan gangguan metabolisme. Selain itu, kurang tidur juga berpengaruh pada produktivitas, kemampuan mengambil keputusan, serta hubungan sosial di dunia nyata. Akibatnya, hari esok menjadi lebih berat, yang justru semakin memperkuat alasan untuk “balas dendam” lagi di malam berikutnya—sebuah lingkaran setan yang sulit diputus.

Secara pribadi, saya melihat bahwa Revenge Bedtime Procrastination bukan hanya masalah waktu tidur, tetapi cermin dari tekanan hidup modern. Banyak dari kita merasa hidup terlalu dikendalikan oleh kewajiban dan ekspektasi luar, hingga lupa menyisakan ruang untuk diri sendiri. Maka, waktu malam—yang seharusnya menjadi momen istirahat—diubah menjadi zona pelarian dari kenyataan. Tapi benarkah pelarian itu menyenangkan, atau hanya bentuk penundaan terhadap beban hidup yang tidak pernah selesai?

Kita tidak bisa terus membiarkan malam-malam kita dirampas oleh algoritma. Perlu ada kesadaran dan usaha untuk memperbaiki pola hidup, termasuk kebiasaan digital. Langkah-langkah kecil seperti mengatur batasan waktu layar (screen time), menyalakan mode tidur pada ponsel, atau membuat rutinitas relaksasi sebelum tidur bisa sangat membantu. Lebih dari itu, penting bagi kita untuk menyediakan me time di siang atau sore hari, agar malam tidak selalu menjadi tempat “balas dendam”.

Tidur bukanlah bentuk kemewahan yang hanya boleh dinikmati saat akhir pekan. Tidur adalah kebutuhan dasar, hak tubuh untuk beristirahat dan memulihkan diri. Dalam dunia yang semakin bising dan cepat, tidur adalah salah satu bentuk kasih sayang paling tulus kepada diri sendiri. Maka, mari kita jaga malam kita—bukan untuk membalas dendam, tetapi untuk berdamai dengan diri sendiri.

Jangan sampai kita terus membayar mahal demi beberapa jam kesenangan semu di malam hari. Saatnya mengembalikan fungsi malam sebagai tempat beristirahat, bukan zona pelarian. Karena pada akhirnya, tidur yang cukup adalah fondasi dari hari esok yang lebih baik.***

Oleh Lintang Asya Arita Mahasiswa Komunikasi Digital dan Media, Sekolah Vokasi IPB

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here