Bogordaily.net – Kontroversi Social Experiment di Media Sosial: Antara Edukasi dan Sensasi Fenomena social experiment di media sosial semakin marak dengan berbagai konsep yang beragam, mulai dari menguji empati masyarakat hingga mengungkap perilaku sosial. Namun, belakangan ini, banyak eksperimen sosial yang justru menimbulkan kontroversi karena dianggap lebih mengedepankan sensasi dibanding tujuan edukatif.
Beberapa konten social experiment memang berhasil menyampaikan pesan moral dan
membuka mata masyarakat terhadap isu sosial tertentu.
Misalnya, eksperimen tentang keberanian membela korban pelecehan sering kali menuai respons positif.
Namun, di sisi lain, banyak juga yang dibuat dengan cara manipulatif, seperti berpura-pura menjadi korban atau menipu orang lain demi reaksi spontan yang dramatis.
Kasus viral seperti eksperimen yang mempermalukan orang miskin dengan omongan “menguji kebaikan” atau membuat seseorang menangis hanya untuk konten telah menuai kecaman.
Beberapa bahkan dianggap melanggar privasi dan etika karena dilakukan tanpa izin. Konten semacam ini lebih condong pada eksploitasi demi keuntungan pribadi.
Saya merasa bahwa social experiment sebenarnya bisa menjadi hal yang baik untuk
mengedukasi dan meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap berbagai isu sosial.
Namun, ketika tujuan utamanya hanya untuk sensasi bukan ke edukasi maka manfaat nya pun menjadi hilang dan hanya akan mendapatkan kecaman dari publik.
Banyak kreator yang mengabaikan aspek etika hanya demi mendapatkan engagement
tinggi di media sosial.
Padahal, eksperimen sosial yang tidak bertanggung jawab dapat menimbulkan dampak psikologis bagi orang yang terlibat, terutama jika mereka tidak mengetahui bahwa sedang menjadi bagian dari sebuah eksperimen.
Selain itu, banyak eksperimen sosial yang sengaja dibuat agar memprovokasi,yang justru bisa menciptakan prasangka buruk atau persepsi negatif terhadap kelompok tertentu.
Saya juga menyayangkan bagaimana banyak orang dengan mudah percaya dan
membagikan / men share video eksperimen sosial tanpa mencari tahu kebenarannya.
Ini menjadi tantangan tersendiri di era digital, di mana kita sendiri lupa harus mencari faktanya terlebih dahulu sebelum kita akan membagikannya lebih lanjut.
Fenomena Kontroversi Social Experiment, semakin diperparah dengan adanya algoritma media sosial yang cenderung mempromosikan konten berdasarkan tingkat interaksi, bukan keakuratan atau berbobotnya dari sebuah konten itu sendiri.
Akibatnya, video eksperimen sosial yang mengandung unsur kontroversi, manipulasi, atau eksploitasi sering kali mendapat lebih banyak perhatian daripada konten yang benarbenar edukatif dan beretika. Agar social experiment tetap menjadi media edukasi yang positif, ada beberapa langkah yang bisa diterapkan:
1. Transparansi & Kejujuran: Kreator konten harus menjelaskan tujuan eksperimen,
mendapatkan izin dari partisipan, dan tidak merekayasa hasil demi kepentingan pribadi.
2. Memperhatikan Etika: Jangan sampai eksperimen ini merugikan orang lain, baik secara emosional maupun reputasi. Jika melibatkan masyarakat umum, pastikan tidak ada eksploitasi.
3. Fokus pada Dampak Positif: Eksperimen sosial yang baik harus mendorong perubahan positif di masyarakat, bukan hanya mengejar popularitas sesaat.
4. Pengawasan: Platform media sosial seharusnya lebih ketat dalam memoderasi konten eksperimen yang berpotensi merugikan, serta memberikan edukasi bagi kreator mengenai etika digital.
Eksperimen sosial yang benar-benar edukatif akan tetap memiliki tempat di media sosial. Namun, jika hanya untuk mencari sensasi tanpa mempertimbangkan dampak negatifnya, maka itu bukanlah eksperimen sosial melainkan eksperimen sosial yang berkedok kepedulian. Sebagai audiens, kita juga harus lebih kritis dalam menilai dan tidak mudah terprovokasi oleh konten yang viral tanpa memahami konteksnya.***
Laudya Marcelly