Bogordaily.net – Kasus yang melibatkan Shella Saukia, seorang selebgram dan pengusaha skincare, dengan Dokter Detektif (Doktif), seorang kreator konten di TikTok, menjadi perbincangan hangat di media sosial. Konflik ini dimulai pada 17 Januari 2025, ketika Doktif mengulas produk skincare milik Shella melalui akun TikTok-nya.
Dalam ulasannya, Doktif menemukan beberapa ketidaksesuaian pada produk tersebut, seperti tidak mencantumkan tanggal kedaluwarsa, komposisi, dan izin edar.
Ulasan negatif ini memicu perseteruan, dengan Shella mengklaim bahwa bisnisnya mengalami kerugian miliaran rupiah akibat ulasan tersebut.
Kejadian ini semakin memanas setelah Shella mendatangi Doktif di sebuah restoran, yang berujung pada konfrontasi fisik. Perseteruan ini semakin viral di media sosial dan menambah ketegangan di antara keduanya.
Shella melaporkan Doktif ke Polda Metro Jaya pada 19 Januari 2025 atas dugaan pelanggaran perlindungan data pribadi, sementara Doktif melaporkan Shella dengan tuduhan pemaksaan dan ancaman kekerasan.
Kasus ini pun membuka diskusi mengenai peran penting transparansi, kredibilitas, dan etika dalam berbisnis di era digital.
Kasus ini juga mencerminkan tantangan besar yang dihadapi oleh para influencer dan kreator konten dalam membagikan pendapat mereka di media sosial.
Baik Shella maupun Doktif memiliki pengaruh besar terhadap audiens mereka, sehingga ulasan atau kritik yang mereka sampaikan memiliki dampak yang sangat luas.
Ulasan negatif, khususnya mengenai produk kesehatan dan kecantikan, bisa memengaruhi reputasi dan finansial perusahaan.
Oleh karena itu, setiap ulasan harus didasarkan pada data yang akurat dan disampaikan dengan profesionalisme agar tidak menimbulkan kesalahpahaman.
Salah satu aspek penting yang bisa dipelajari dari kasus ini adalah bagaimana etika dalam mengulas produk harus dijunjung tinggi.
Meskipun kebebasan berpendapat dijamin oleh hukum, terutama di media sosial, ulasan tentang produk—terutama yang terkait dengan kesehatan dan kecantikan—harus dilakukan dengan hati-hati dan disertai bukti yang valid.
Jika menemukan indikasi pelanggaran atau kekurangan pada produk, langkah yang lebih bijak adalah melaporkannya kepada otoritas yang berwenang, seperti BPOM (Badan Pengawas Obat dan Makanan), bukan langsung mempublikasikannya di media sosial tanpa verifikasi yang memadai.
Kritik yang disampaikan tanpa dasar yang kuat dapat berpotensi merusak reputasi bisnis dan merugikan pihak terkait, bahkan jika produk tersebut sebenarnya telah memenuhi standar yang berlaku.
Itulah mengapa, penting untuk menjaga transparansi dan kejujuran dalam menyampaikan informasi produk kepada konsumen.
Menyembunyikan informasi atau tidak mencantumkan label yang diperlukan pada produk dapat merusak kepercayaan konsumen dan berdampak buruk pada citra merek.
Dalam dunia bisnis, terutama di industri kecantikan, kritik merupakan bagian yang tak terhindarkan.
Namun, respons terbaik terhadap kritik bukanlah dengan serangan balik atau tindakan hukum yang melibatkan emosi, tetapi dengan memberikan klarifikasi yang jelas dan berbasis data yang valid.
Alih-alih mengambil langkah hukum yang dapat memperburuk situasi, dalam kasus Shella Saukia, sebaiknya menunjukkan kualitas produk skincare-nya dengan melakukan uji ulang oleh lembaga independen yang kredibel.
Dengan cara ini, ia dapat membangun kembali kepercayaan konsumen dan memberikan bukti bahwa produk yang dijualnya memang memenuhi klaim yang diberikan.
Dari sudut pandang komunikasi, kasus ini memberikan gambaran tentang pentingnya komunikasi yang baik, transparansi, dan profesionalisme dalam dunia digital.
Diera media sosial yang semakin berkembang, sebuah bisnis atau individu harus bisa mengelola citra diri mereka dengan bijak.
Komunikasi yang dilakukan secara terbuka, jujur, dan berbasis fakta akan lebih efektif dalam menjaga reputasi dibandingkan dengan respon yang dilakukan berdasarkan emosi semata.
Selain itu, kasus Shella Saukia juga memperlihatkan bagaimana komunikasi dalam dunia digital harus melibatkan pertanggungjawaban.
Semua pihak yang terlibat, baik itu influencer, pengusaha, maupun kreator konten, memiliki tanggung jawab untuk memastikan bahwa setiap informasi yang disebarkan di media sosial dapat dipertanggungjawabkan.
Kritik yang disampaikan tanpa dasar yang jelas dapat menimbulkan dampak yang luas, baik dari sisi finansial maupun reputasi.
Oleh karena itu, kasus Shella Saukiam penting bagi setiap pihak untuk berkomunikasi secara bertanggung jawab, menjaga integritas, dan menghindari tindakan yang bisa merugikan semua pihak.
Kesimpulannya, jika klaim Doktif mengenai produk Shella terbukti benar dan didasarkan pada data yang valid, maka kritik tersebut bisa dianggap sebagai bentuk edukasi untuk masyarakat mengenai produk kecantikan yang aman dan sesuai standar.
Namun, jika ternyata ada kesalahan dalam analisisnya, maka Doktif harus bertanggung jawab atas dampak yang ditimbulkan.
Sebaliknya, jika Shella telah memperbaiki produknya dan memiliki izin yang sah dari BPOM, maka ia sebaiknya mengungkapkan hal tersebut secara terbuka dan berbasis data, bukan dengan mengambil langkah konfrontatif yang hanya akan memperburuk citranya.
Kasus ini mengajarkan kita pentingnya transparansi, komunikasi yang jujur, dan tindakan yang profesional dalam dunia bisnis dan di era digital, untuk memastikan bahwa komunikasi yang terjadi tidak merugikan semua pihak.***
Sella Syahfillah Aishwasam
Mahasiswa Komunikasi Digital dan Media Sekolah Vokasi IPB University