Bogordaily.net – Beberapa pekan terakhir, masyarakat kembali dihadapkan pada kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM). Kenaikan ini menambah beban hidup, terutama bagi kelompok berpenghasilan rendah yang bergantung pada transportasi publik dan kendaraan pribadi untuk mobilitas sehari-hari.
ADVERTISEMENT
Di tengah kondisi ekonomi yang menantang, kenaikan harga BBM sering kali dikaitkan dengan faktor eksternal, seperti fluktuasi harga minyak dunia, biaya impor, dan nilai tukar rupiah. Namun, persoalan ini juga memunculkan pertanyaan lain: apakah tata kelola energi di Indonesia telah berjalan dengan baik?
Kecurigaan publik semakin menguat ketika Kejaksaan Agung mengungkap kasus dugaan korupsi dalam pengadaan minyak mentah dan produk kilang yang melibatkan Pertamina dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS). Dengan kerugian negara yang ditaksir mencapai Rp 193,7 triliun, kasus ini menjadi salah satu skandal keuangan terbesar di sektor energi dalam beberapa tahun terakhir.
ADVERTISEMENT
Dugaan Korupsi dan Tata Kelola Pertamina
Dalam kasus ini, sejumlah pejabat Pertamina dan pihak terkait diduga melakukan berbagai penyimpangan dalam proses pengadaan minyak. Salah satu modus yang diungkap adalah praktik blending, yaitu mencampur minyak dengan kualitas lebih rendah untuk dijual sebagai produk dengan harga lebih tinggi.
ADVERTISEMENT
Kejaksaan Agung menyebut bahwa praktik ini tidak hanya merugikan negara, tetapi juga berpotensi mempengaruhi kualitas BBM yang dikonsumsi masyarakat. Selain itu, terdapat dugaan markup dalam kontrak pengadaan minyak mentah yang menyebabkan lonjakan biaya yang tidak perlu, yang pada akhirnya dapat berkontribusi terhadap kenaikan harga BBM di pasaran.
Dalam banyak kasus korupsi di sektor energi, transparansi sering kali menjadi tantangan utama. Proses pengadaan minyak dan distribusinya masih kurang terbuka bagi publik, sehingga ruang untuk penyalahgunaan tetap terbuka.
Dampak bagi Masyarakat dan Kepercayaan Publik
Ketika harga BBM naik, dampaknya tidak hanya terasa di sektor transportasi. Biaya produksi dan distribusi barang ikut meningkat, yang berujung pada kenaikan harga kebutuhan pokok. Masyarakat yang sudah terbebani oleh inflasi kini harus beradaptasi dengan kenaikan biaya hidup yang semakin tinggi.
Lebih dari itu, kasus ini juga memperburuk kepercayaan publik terhadap pengelolaan sektor energi nasional. Banyak pihak mempertanyakan apakah kebijakan harga BBM benar-benar berdasarkan kondisi pasar global, atau justru dipengaruhi oleh kepentingan bisnis tertentu.
Di beberapa negara, tata kelola energi lebih transparan dengan adanya mekanisme pengawasan independen yang kuat. Indonesia seharusnya belajar dari model ini untuk memastikan bahwa kebijakan energi tidak hanya menguntungkan segelintir pihak, tetapi juga berpihak pada kepentingan rakyat.
Reformasi Tata Kelola Energi
Kasus ini seharusnya menjadi momentum bagi pemerintah untuk melakukan reformasi menyeluruh dalam pengelolaan energi. Ada beberapa langkah yang dapat dilakukan untuk memastikan kejadian serupa tidak terulang:
1. Meningkatkan transparansi pengadaan minyak mentah dan produk kilang, dengan memberikan akses lebih luas bagi publik dan lembaga pengawas untuk meninjau kontrak dan kebijakan harga.
2. Memperkuat pengawasan internal dan eksternal di Pertamina, agar mekanisme audit dan evaluasi dapat berjalan lebih efektif.
3. Mendorong transisi energi yang lebih berkelanjutan, dengan mempercepat pengembangan sumber energi alternatif yang dapat mengurangi ketergantungan pada impor minyak mentah.
4. Menegakkan hukum secara tegas terhadap pelaku korupsi di sektor energi, untuk memberikan efek jera dan mencegah terulangnya kasus serupa.
Dalam beberapa kasus besar, tekanan publik terbukti dapat mempercepat proses penegakan hukum dan mendorong perubahan kebijakan. Oleh karena itu, keterlibatan masyarakat dalam mengawal kasus ini menjadi sangat penting.
Perubahan Harus Dimulai Sekarang
Kasus dugaan korupsi di Pertamina bukan hanya tentang penyimpangan keuangan, tetapi juga tentang bagaimana sumber daya energi nasional dikelola. Jika permasalahan ini tidak ditangani dengan serius, maka kepercayaan publik terhadap kebijakan energi akan semakin menurun, dan masyarakat akan terus menjadi korban dari tata kelola yang tidak transparan.
Langkah reformasi harus segera dilakukan, tidak hanya untuk menutup celah penyimpangan, tetapi juga untuk memastikan bahwa kebijakan energi yang diambil benar-benar berpihak kepada rakyat. Jika tidak, maka kenaikan harga BBM hanya akan menjadi siklus yang terus berulang, dengan rakyat yang selalu menjadi pihak yang paling dirugikan.
Indrajid
Mahasiswa Komunikasi Digital dan Media, IPB University