Bogordaily.net – Rencana pemerintah untuk memberikan 1.000 unit rumah subsidi bagi wartawan menuai pro dan kontra. Program subsidi rumah yang akan diluncurkan pada 6 Mei 2025 oleh Kementerian Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP) ini, digadang-gadang merupakan bentuk kehadiran negara terhadap nasib wartawan.
Namun, dibalik niat baik tersebut, terselip pertanyaan penting: benarkah ini menjadi solusi bagi permasalahan dasar yang dihadapi wartawan? Atau justru upaya yang berisiko mencemarkan nama baik wartawan itu sendiri?
Kita tidak bisa menolak kenyataan bahwa kesejahteraan wartawan di Indonesia masih jauh dari kata ideal. Laporan Potret Jurnalis Indonesia 2025 yang dirilis Aliansi Jurnalis Independen (AJI) mencatat bahwa 34,2 persen wartawan yang sudah terverifikasi Dewan Pers digaji di bawah upah minimum provinsi (UMP).
Sedangkan, sebanyak 61,7 persen dari mereka bahkan tidak mengalami kenaikan gaji selama setahun terakhir. Artinya, hampir sepertiga wartawan di Indonesia bekerja tanpa penghasilan yang layak.
Sebagai mahasiswa Program Studi Komunikasi Digital dan Media, saya melihat bahwa pemerintah semestinya lebih dulu fokus terhadap faktor utama kesejahteraan wartawan, misalnya memastikan 34,2 persen wartawan yang bergaji di bawah UMP mendapatkan pendapatan yang lebih layak dengan menerapkan regulasi terkait gaji kepada perusahaan media.
Selain itu, pemerintah juga wajib menjamin adanya kebebasan pers, termasuk menghentikan dan mencegah terjadinya tindakan represif aparat terhadap jurnalis yang tengah melaksanakan tugas di lapangan.
Ketika subsidi rumah diberikan kepada profesi tertentu, itu dapat menciptakan contoh yang berbahaya. Hal tersebut membuka ruang bagi masyarakat untuk kemudian mempertanyakan independensi wartawan.
Bayang-bayang wartawan yang tunduk karena merasa “berutang budi” kepada negara menjadi momok yang menakutkan terhadap media sebagai pilar keempat demokrasi.
Penolakan sejumlah organisasi jurnalis seperti AJI, IJTI, dan PFI terhadap rencana ini bukanlah tanpa alasan. Mereka menilai bahwa program khusus bagi wartawan dalam mengakses rumah subsidi akan menimbulkan citra negatif bagi wartawan itu sendiri dan mengedankan adanya perlakuan istimewa.
Padahal, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun lalu, hanya 59,96 persen rumah tangga di Indonesia yang memiliki rumah dengan sertifikat hak milik. Yang mana, kebutuhan akan tempat tinggal bukan hanya milik wartawan, tetapi jutaan rakyat Indonesia yang juga berjuang untuk memenuhi kebutuhan papannya.
Jika skema subsidi yang digunakan pemerintah adalah Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP), yang sebenarnya bisa diakses oleh siapa pun dengan pendapatan maksimal Rp8 juta per bulan dan belum memiliki rumah, lalu apa urgensi pemerintah memberikan program khusus kepada wartawan? Bukankah lebih baik jika program ini dibuka tanpa harus mendahulukan profesi tertentu?
Tentu, niat baik pemerintah layak untuk diapresiasi. Namun, eksekusi kebijakannya perlu dilakukan dengan pertimbangan matang. Dewan Pers sendiri telah memberikan sikap dengan menolak menyerahkan 100 nama wartawan penerima kunci rumah subsidi.
Hendaknya program ini tidak menjadi gimmick semata menjelang momentum tertentu atau bahkan alat yang mampu menurunkan kemampuan berpikir kritis wartawan terhadap kebijakan yang dikeluarkan pemerintah.
Rencana pemerintah dalam memberikan subsidi rumah ini sebaiknya dikaji ulang hingga 5 Mei 2025 nanti. Di saat yang sama, pemerintah perlu membuka ruang diskusi dengan wartawan atau asosiasinya sebagai objek kebijakan. Bukan sekadar mendengar, tetapi sungguh-sungguh mempertimbangkan apa yang menjadi suara mereka sebagai pihak yang akan paling terdampak.
Mahasiswa, khususnya yang akan menjadi ahli komunikasi di masa yang akan datang, sudah seyogianya mendukung keputusan Dewan Pers untuk menolak menyerahkan data 100 wartawan penerima rumah subsidi.
Kita semua pasti menginginkan kehidupan yang layak bagi wartawan, namun penting bagi mereka untuk tetap independen, kritis, dan berani. Dan kesejahteraan wartawan sebetulnya tidak akan pernah tercapai jika kebebasan pers masih dibungkam lewat cara-cara yang terlihat manis di permukaan, namun menyimpan jebakan Batman di baliknya.***
Fairuz Zain
Mahasiswa Komunikasi Digital dan Media, Sekolah Vokasi IPB University