Bogordaily.net – Hadiah Indonesian Idol 2025 tidak sekadar angka dan kendaraan mewah. Ia adalah cerita tentang mimpi yang ditebus dengan tenggorokan serak, air mata jatuh diam-diam di balik panggung, dan malam-malam sunyi yang hanya ditemani cermin dan bayangan diri.
Dan malam itu, panggung besar Indonesian Idol 2025 membuktikan satu hal: suara memang bisa mengubah hidup. Nama yang keluar sebagai pemenang adalah Shabrina Leanor.
Indonesian Idol bukan program biasa. Ini bukan hanya soal kompetisi menyanyi. Seperti ditulis oleh Erwan Juhara dalam Cendekia Berbahasa (2005:143), program ini adalah adaptasi dari Pop Idol Inggris dan American Idol Amerika, yang tujuannya jelas: menjadikan orang biasa sebagai bintang.
Indonesia telah menyerap konsep itu sejak 2004. Namun tiap musimnya selalu membawa rasa baru. Musim ini—tahun 2025—memunculkan satu nama besar: Shabrina Leanor.
Di malam bertajuk Result & Reunion, yang digelar Senin malam, 19 Mei 2025, pukul 21:15 WIB dan disiarkan langsung di RCTI, dua nama bersaing ketat: Fajar Noor dan Shabrina Leanor.
Malam itu mereka tidak hanya bernyanyi, mereka membuka diri, memperlihatkan luka, harapan, dan cinta pada musik yang terlalu dalam untuk dijelaskan dengan kata.
Tamu-tamu istimewa pun datang. Ada Andi Rianto bersama Magenta Orchestra. Ada Afgan, Lomba Sihir. Lagu-lagu seperti Sang Dewi, Lesung Pipi, hingga Bawalah Cintaku menggema seperti puisi raksasa yang ditulis bersama-sama oleh semua insan musik Indonesia.
Lalu datanglah pengumuman itu. Nama Shabrina menggema. Suaranya, ekspresinya, dan perjalanan panjangnya membawanya ke posisi puncak.
Dan tentu saja, hadiah Indonesian Idol 2025 pun resmi menjadi miliknya: uang tunai Rp150 juta, satu unit mobil, serta—yang tak tertulis—sejuta peluang baru.
Runner-up, Fajar Noor, tidak kalah berkilau. Ia membawa pulang Rp100 juta dan sebuah sepeda motor. Tapi yang paling penting, keduanya kini menjadi nama baru dalam kamus industri musik Indonesia.
Hadiah Indonesian Idol 2025 memang terdengar mewah. Tapi yang lebih mahal adalah prosesnya. Mungkin ini yang tidak kita lihat di TV: keraguan yang harus ditelan, panggilan yang ditolak demi latihan, dan komentar pedas yang harus dijadikan cambuk.***