Thursday, 29 May 2025
HomeKota BogorWakil Ketua Pemuda Muhammadiyah Kabupaten Bogor : Hadiah Persib Celah Korupsi dari...

Wakil Ketua Pemuda Muhammadiyah Kabupaten Bogor : Hadiah Persib Celah Korupsi dari Instruksi Emosional

Bogordaily.net – Wakil Ketua Kabupaten Bogor Restu Kurniawan Wibawa soroti Instruksi Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, agar para pejabat di lingkungan Pemerintah Provinsi Jawa Barat patungan memberikan hadiah sebesar Rp1 miliar kepada para pemain bukan hanya mengejutkan, tetapi juga mencemaskan.

Menurutnya, meski maksudnya tampak baik untuk memotivasi insan olahraga, instruksi ini membuka celah rawan lahirnya budaya manipulatif dalam birokrasi, yang bisa merusak tatanan etika pemerintahan dan menjadi preseden buruk bagi daerah lain di Indonesia.

Instruksi Emosional, Konsekuensi Rasional

Pertama, perlu memahami bahwa sistem pemerintahan kita bekerja berdasarkan aturan dan prinsip profesionalisme, bukan berdasarkan emosi atau euforia sesaat. Jika seorang kepala daerah dapat dengan mudah menginstruksikan penggunaan dana pribadi yang notabene berasal dari pejabat publik yang digaji negara tanpa kerangka regulasi yang jelas, maka kita tengah membuka pintu terhadap pembentukan “kebiasaan buruk” dalam birokrasi.

“Bayangkan jika pejabat di setiap level merasa wajar mengakomodasi permintaan pribadi atasan demi menjaga loyalitas. Ini bukan lagi semangat gotong royong, tapi bentuk tekanan sistematis yang bisa melahirkan budaya baru: patungan paksa yang berujung pada penyimpangan anggaran,” kata Restu, 26 Mei 2025

Potensi Pembiaran Korupsi Struktural

Menurut dia, poin kritisnya adalah bagaimana para pejabat akan memenuhi instruksi ini. Gaji dan tunjangan pejabat pemerintah provinsi bukan tanpa batas. Jika setiap pejabat harus menyumbang Rp10 juta hingga Rp20 juta secara tiba-tiba, dari mana mereka mengambil dana tersebut? Bukan mustahil mereka akan “ngakal-ngakalin” laporan keuangan, melakukan mark-up, atau bahkan melakukan pungutan liar pada rekanan dan pihak ketiga.

“Inilah yang disebut dengan korupsi struktural terjadi bukan semata karena niat jahat, tapi karena tekanan sistem dan budaya kepatuhan buta terhadap atasan. Instruksi ini bisa jadi bom waktu. Dan ironisnya, semua terjadi di balik jargon-jargon nasionalisme dan loyalitas terhadap olahraga daerah,” jelasnya.

Bahaya Budaya Simbolik dalam Pemerintahan

Kemudian, jika dibiarkan, tindakan ini akan menjadi budaya baru yang berbahaya. Bisa jadi kelak kita akan menyaksikan kepala daerah memerintahkan patungan untuk perayaan ulang tahun dirinya, pembangunan taman atas nama warisan pribadi, atau membiayai hajatan-hajatan lain yang tidak ada dalam RKPD.

“Apakah bangsa sebesar Indonesia ingin terjebak dalam gaya kepemimpinan simbolik yang mendorong pengkultusan figur dan pengaburan fungsi birokrasi?,” tegasnya.

Budaya simbolik ini hanya akan menggerus profesionalisme birokrasi. Alih-alih bekerja sesuai target pembangunan, pejabat akan sibuk memenuhi ekspektasi personal pemimpinnya. Akibatnya, pengelolaan keuangan daerah menjadi tidak sehat, dan integritas birokrasi makin rapuh.

Jalur Formal dan Transparan

Apresiasi terhadap atlet dan tim olahraga tentu penting. Namun caranya harus melalui jalur yang formal dan transparan. Jika ingin memberi hadiah kepada Persib, buatlah surat keputusan resmi, ajukan penggalangan dana publik secara terbuka, atau dorong sektor swasta dan sponsor untuk ambil bagian. Tak perlu melibatkan pejabat dengan cara yang berpotensi menjerumuskan.

“Apalagi, penting diingat bahwa Persib adalah klub profesional, bukan institusi sosial atau milik publik murni. Mereka sudah memiliki struktur keuangan, sponsor, dan dukungan dari komunitas,” ujarnya.

Lebih lanjut, jika ingin memberi dukungan terhadap dunia olahraga, lebih bijak mengalokasikan dana dan perhatian kepada sekolah-sekolah sepak bola, program pembinaan usia dini, atau fasilitas olahraga di desa-desa yang terbengkalai.

Etika Kepemimpinan Adalah Tiang Negara

Bangsa ini telah banyak belajar dari kasus-kasus korupsi yang bermula dari hal-hal kecil. Banyak kepala daerah yang awalnya ingin terlihat dekat rakyat, justru terjerembab karena mengaburkan batas antara kebijakan dan kepentingan pribadi. Oleh karena itu, kita harus menolak keras segala bentuk instruksi yang tak berbasis regulasi.

“Kepemimpinan bukan hanya soal memberi perintah, tapi soal memberi teladan. Pemimpin yang bijak tak boleh menormalisasi praktik tekanan birokrasi, meskipun dibungkus dengan semangat nasionalisme atau cinta olahraga. Kalau kita biarkan hal ini terus terjadi, maka negeri ini akan terbiasa dengan cara-cara di luar aturan, yang perlahan tapi pasti, menggerogoti fondasi negara hukum,” tuturnya.

Semua Harus Kembali Pada Aturan Main

Selain itu, instruksi untuk patungan bukan sekadar wacana teknis. Ini menyangkut nilai, prinsip, dan masa depan tata kelola pemerintahan kita. Jika kita ingin mencetak birokrasi yang kuat, bersih, dan profesional, maka kita harus berani berkata tidak pada instruksi yang tidak sehat. Indonesia tak boleh terbiasa dengan budaya manipulatif yang dibungkus dalam balutan nasionalisme semu.

“Mari kita rawat negeri ini dengan keberanian untuk menjaga integritas, bukan dengan membiarkan euforia sesaat menjadi alasan pembenaran atas praktik yang berpotensi merusak. Karena pada akhirnya, yang kita perjuangkan bukan hanya kemenangan di lapangan bola, tapi juga kemenangan nilai-nilai dalam pemerintahan yang adil dan bersih,” ungkap Restu.***

Albin Pandita

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here