Friday, 6 June 2025
HomeOpiniBelajar dari Vietnam dan Malaysia, Standar Miskin BPS Perlu Diubah

Belajar dari Vietnam dan Malaysia, Standar Miskin BPS Perlu Diubah

Bogordaily.net – Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan, hanya sekitar 9% persen masyarakat Indonesia tergolong miskin. Namun, laporan Bank Dunia menunjukkan hal yang berbeda, lebih dari 60% penduduk Indonesia masih hidup dengan pengeluaran di bawah garis kemiskinan internasional sebesar US$6,85 PPP/hari (setara Rp35.000-41.000).

Ini bukan sekadar perbedaan angka semata. Publik mempertanyakan kenapa dua lembaga tersebut bisa berbeda angka. Ternyata perbedaan berasal dari dasar asumsi dan metode yang berbeda di antara kedua lembaga tersebut.

Bank Dunia menetapkan Indonesia sebagai negara berpendapatan menengah ke atas (Upper Midle Income Country/UMIC). Adapun garis kemiskinan versi Bank Dunia untuk Indonesia adalah sebesar $6,85/orang/hari. Yang perlu diperhatikan adalah jumlah $6,85 ke dalam rupiah yang seharusnya menggunakan kurs paritas daya beli Purchasing Power Parity (PPP) 2017 bukan kurs valuta asing.

Sedangkan BPS menentukan garis kemiskinan berdasarkan dua komponen utama yakni kebutuhan makanan dan kebutuhan nonmakanan.

Perbedaan angka ini bukan semata-mata soal teknis, tetapi mencerminkan cara kita memahami atau “menyederhanakan” realitas sosial-ekonomi masyarakat Indonesia. Jika jutaan orang tidak tergolong miskin menurut negara, tetapi tetap kesulitan memenuhi kebutuhan dasar seperti makan, sewa tempat tinggal, atau biaya kesehatan, maka kita perlu pertanyakan kembali, “Siapa yang kita anggap miskin? Dan siapa yang terlewat dari perhatian kebijakan?”

Penetapan garis kemiskinan dari pemerintah kurang relevan
Menurut saya, penggunaan standar hidup sebesar Rp 20 ribu /orang/hari justru berisiko meremehkan kondisi riil masyarakat rentan. Meskipun terlihat sangat berbeda, angka kemiskinan versi BPS dan Bank Dunia sebenarnya berasal dari sumber data yang sama, yaitu Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas).

Pendekatan yang dilakukan BPS berisiko mengecilkan beban hidup masyarakat di era kini. Sebab acuan alokasi 25% untuk komponen nonmakanan bisa jadi terlalu rendah untuk mencerminkan kondisi hidup layak.

Internet misalnya, buat banyak orang sudah seperti kebutuhan pokok. Belum lagi kebutuhan pendidikan yang kenaikan pertahunnya mencapai 10-15%.

Jika acuan garis kemiskinan terlalu rendah, maka program bantuan sosial berisiko tidak menjangkau mereka yang paling membutuhkan. Padahal sudah jelas, tren demografi nasional saat ini sedang negatif lantaran masyarakat kelas menengah yang sudah naik kelas justru lebih mudah kembali miskin (rentan miskin).

Padahal dalam situasi seperti kehilangan pekerjaan, jatuh sakit, atau terkena dampak inflasi, kelompok ini sangat rentan untuk langsung jatuh ke dalam kemiskinan absolut. Apalagi untuk mereka yang sudah terjerat dengan pinjaman online. Tanpa perlindungan sosial yang memadai, mereka akan terus hidup dalam ketidakpastian, namun tetap tidak terlihat oleh kebijakan resmi negara

Penetapan kategorisasi individu/keluarga miskin BPS yang sebatas pengeluaran hariannya senilai Rp20 ribu/orang/hari justru mendiskreditkan fenomena kemiskinan nasional yang sebenarnya. Angka segitu hanya sekadar cukup untuk menyambung hidup semata, tidak untuk berkembang dalam hidupnya. Dalam topik ini Indonesia bahkan sudah tertinggal dari Vietnam dan .

Vietnam Berani Tingkatkan Standar Angka Kemiskinan Secara Signifikan

Contoh menarik datang dari Vietnam. Secara resmi masih dikategorikan sebagai negara berpendapatan menengah bawah (Lower Middle Income Country/LMIC). Namun pemerintah Vietnam justru berani menetapkan garis kemiskinan nasional yang lebih tinggi daripada ambang batas internasional yang digunakan Bank Dunia untuk negara sekelasnya.

Untuk periode 2021–2025, Vietnam menetapkan garis kemiskinan sebesar VND2 juta/kapita/bulan untuk wilayah perkotaan (sekitar setara Rp 1,3 juta/bulan), jauh di atas standar $3,65 PPP yang lazim digunakan Bank Dunia untuk LMIC.

Agar data kemiskinan BPS Vietnam lebih akurat, pemerintah berani menaikkan batas angka kemiskinan secara signifikan
Pemukiman kumuh juga ada di Ho Chi Minh Vietnam. all themes/shutterstock
Bahkan, pemerintah Vietnam telah mengintegrasikan pendekatan kemiskinan multidimensional, yang mencakup aspek pendidikan, kesehatan, sanitasi, hingga akses informasi. Langkah progresif ini menunjukkan bahwa menaikkan garis kemiskinan bukanlah tanda kelemahan ekonomi, melainkan komitmen terhadap keadilan sosial dan kesejahteraan minimum. Menariknya, meskipun menetapkan standar kemiskinan yang tinggi, Vietnam tidak malu mengakui bahwa banyak warganya masih tergolong miskin.

Dengan pendekatan yang lebih realistis, pemerintah Vietnam mencatat bahwa sekitar 18% penduduknya masih hidup di bawah garis kemiskinan setara $6,85 PPP/hari. Angka ini memang lebih tinggi dibandingkan negara tetangga, tetapi Vietnam memilih untuk jujur terhadap kondisi sosial-ekonominya.

: Dari Klaim Rendah ke Realitas yang Lebih Akurat

Hal serupa terjadi di . Pada tahun 2019, pemerintah mengklaim tingkat kemiskinan hanya 0,4%. Sontak Bank Dunia dan Perserikatan Bangsa-Bangsa menyoroti bahwa garis kemiskinan nasional , yang saat itu ditetapkan sebesar RM980/rumah tangga/bulan (senial Rp3,8 juta), terlalu rendah dan tidak mencerminkan realitas biaya hidup.

Menanggapi kritik itu dan bersamaan dengan pandemi Covid-19, melakukan reformasi menyeluruh pada tahun 2020 dengan menaikkan garis kemiskinan menjadi RM2.208/rumah tangga/bulan atau senilai Rp8,5 juta. Hal ini menyebabkan lonjakan angka kemiskinan menjadi 8,4%, namun langkah ini justru membuka jalan bagi kebijakan sosial yang lebih akurat. Dengan data yang akurat, program bansos pemerintah seperti Bantuan Prihatin Nasional tepat sasaran.

Data kemiskinan BPS juga diubah agar bisa menangkap fenomena lebih akurat dan relevan
Potret kawasan kumuh di Semenyih . lens hitam/shutterstock
Hasilnya, pada 2024, tingkat kemiskinan resmi turun menjadi hanya 1,3%—bukan karena garisnya diturunkan, tetapi karena intervensinya menjadi lebih tepat sasaran. Pengalaman menunjukkan bahwa keberanian menaikkan standar bukanlah bentuk kegagalan, tetapi dasar untuk merancang kebijakan yang lebih adil dan berdampak nyata.

Pelajaran dari dua negara tier Indonesia di kawasan Asia Tenggara tersebut yang melakukan penyesuaikan garis kemiskinan memang tidak populis dan memiliki risiko politik bagi pemerintahannya. Tapi situasi akan cepat berbalik jika pemerintah berkomitmen penuh untuk mengentaskan kemiskinan melalui program yang tepat sasaran dan berkelanjutan.

Sebagai sesama negara berkembang, angka pertumbuhan ekonomi Vietnam dan Malaysia bisa dijadikan acuan. Indonesia sejak sedekade terakhir selalu berkutat di kisaran 5%, sedangkan Malaysia dan Vietnam masing-masing pernah tumbuh lebih dari 8% beberapa tahun terakhir.

Reformasi garis kemiskinan adalah langkah awal untuk memastikan kebijakan publik memberi jaminan keadilan sosial bagi seluruh masyarakat secara riil tidak hanya angka statistik semata. Tanpa akurasi data demografi, program pengentasan kemiskinan berkelanjutan, dan inovasi kebijakan lanjutan bukan tidak mungkin Indonesia benar-benar masuk dalam jeratan middle income trap atau tidak akan pernah lepas landas menjadi negara maju.***

Penulis: Dipo Satria Ramli, Doctoral Student in Economics, Universitas Indonesia

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here