Bogordaily.net – Capres Kolombia tewas ditembak. Namanya Miguel Uribe Turbay. Usianya baru 39 tahun. Darah politik mengalir kental di tubuhnya. Ia cucu mantan presiden.
Ia anak dari seorang jurnalis yang mati tragis dalam operasi penyelamatan setelah diculik kartel narkoba MedellÃn.
Kini, Miguel Uribe menyusul ibunya. Tapi bukan karena kartel. Bukan karena kecelakaan. Tapi karena peluru. Di kepala. Dua kali.
Dan yang lebih membuat dunia terdiam: pelakunya masih remaja. Baru 15 tahun. Entah karena uang, entah karena ideologi, atau hanya sekadar suruhan.
Tapi Kolombia tahu: usia tidak lagi relevan kalau bicara kekuasaan.
Capres Kolombia tewas ditembak.
Bukan di malam gelap. Bukan di gang sempit. Tapi di taman terbuka. Saat kampanye.
Di atas panggung. Saat ia sedang berpidato. Di hadapan massa. Di tengah teriakan dukungan. Lalu dua kali tembakan. Tertangkap kamera. Viral di media sosial. Dunia pun tahu.
Kepalanya berdarah. Ia tersungkur. Mobil putih di belakangnya jadi saksi bisu. Lalu sirine. Lalu rumah sakit. Lalu meja operasi. Dan sampai tulisan ini dibuat, ia belum sadar. Masih bertarung. Tapi sebagian media sudah menyerah: capres Kolombia tewas ditembak.
Siapa remaja itu?
Namanya belum dibuka. Tapi statusnya sudah disebut: sicario. Pembunuh bayaran.
Seorang anak dalam tubuh negara yang tidak pernah benar-benar pulih dari perang sipil, dari kartel, dari kekerasan, dari luka sejarah yang belum sembuh.
Mereka bilang ini mirip 1989. Saat Capres Luis Carlos Galán dibunuh. Di tempat umum. Juga saat kampanye. Yang beda: sekarang bukan zaman Pablo Escobar. Tapi rasa takutnya masih sama.
Miguel Uribe adalah tokoh sayap kanan. Lawan keras Presiden kiri, Gustavo Petro.
Ia janji membawa Kolombia ke era stabil. Tapi jalannya justru diakhiri peluru. Bahkan belum sempat masuk kotak suara.
Kita tahu ada dua jenis kekuasaan: yang diperoleh lewat pemilu, dan yang dihentikan lewat peluru.
Dan di Kolombia, peluru masih bisa menang.
Presiden Petro sudah angkat suara. Ia kutuk. Ia sedih. Tapi publik curiga. Beberapa lawan politiknya justru menyalahkan pemerintahannya. Terlalu longgar. Terlalu penuh kompromi. Terlalu banyak bicara hak, terlalu sedikit bicara keamanan.
Hadiah besar dijanjikan. Tiga miliar peso bagi siapa pun yang memberi info soal dalang pembunuhan ini.
Tapi publik tahu: uang tidak menyembuhkan rasa takut. Dan tak ada jaminan itu bisa mengembalikan demokrasi yang baru belajar berjalan.
Dari luar negeri, muncul suara. Amerika Serikat bereaksi. Menteri Luar Negeri mereka bicara. Eropa ikut prihatin. Dunia merasa ini bukan cuma soal Kolombia. Ini tentang demokrasi di kawasan yang masih rapuh.
Tapi kita tahu: setelah headline ini hilang dari layar, warga Kolombia tetap hidup dalam ketegangan.
Pemilu 2026 masih jauh. Tapi bayang-bayang peluru kini menari di setiap panggung kampanye.
Capres Kolombia tewas ditembak.
Bukan cuma karena peluru. Tapi karena sejarah yang menolak mati. Karena kekuasaan yang masih lebih murah ditentukan oleh darah, bukan suara.***