Bogordaily.net – Profil Ayatollah Ruhollah Khomeini. Tiga kata yang hari ini kembali bergaung keras, menembus dinding-dinding berita setelah perang Iran vs Israel meletus.
Sebuah nama yang tak bisa dihapus dari lembar sejarah dunia Islam modern—sekaligus salah satu tokoh paling kontroversial abad ke-20.
Para pengikutnya bercerita saat dulu ikut menyambut kepulangan sang Imam di Bandara Mehrabad, 1 Februari 1979.
“Tidak ada yang bisa menandingi suasana saat itu,” katanya. “Tangis, takbir, harap, dan ketakutan menyatu dalam satu tarikan napas.” Ia menatap langit. “Hari itu Iran berubah untuk selamanya.”
Profil Ayatollah Ruhollah Khomeini memang bukan sekadar perjalanan seorang ulama.
Ia adalah drama panjang: dari kota kecil Khomeyn ke puncak kekuasaan sebuah revolusi.
Lahir pada 24 September 1902, ia bahkan kehilangan ayahnya sejak bayi, dan dibesarkan oleh ibunya dalam tradisi Syiah yang keras.
Latar belakang pendidikan agamanya mengakar kuat. Tapi yang membuat Khomeini berbeda bukan hanya kemampuannya mengutip kitab.
Ia membawa sesuatu yang langka: keberanian. Ketika Syah Mohammad Reza Pahlavi meluncurkan Revolusi Putih—dengan jargon modernisasi dan sekularisasi—Khomeini menjadi satu dari sedikit ulama yang berani bersuara lantang menentangnya.
Ceramah-ceramahnya bukan hanya menggetarkan langit Qom, tapi juga mengguncang istana Teheran. Tak lama, ia ditangkap. Diasingkan. Dan di sanalah justru semuanya dimulai.
Neauphle-le-Château, Paris. Sebuah desa kecil di Prancis. Di sana, dari balik jendela rumah sederhana, seorang imam tua memulai revolusi.
Para wartawan dari BBC, Le Monde, hingga New York Times bergantian mewawancarainya. Kaset-kaset berisi pidatonya diselundupkan ke Iran, diputar diam-diam dari satu rumah ke rumah lain.
“Gulingkan Syah,” katanya. Dan rakyat mendengar.
Profil Ayatollah Ruhollah Khomeini mencapai klimaks ketika ia pulang dengan Air France pada 1979.
Tak ada penguasa yang kembali ke negerinya dengan sambutan sebesar itu. Jutaan orang tumpah di jalanan.
Bukan hanya menjemput pemimpin, tapi menjemput masa depan yang baru—meski mereka belum tahu, masa depan seperti apa.
Ia segera memproklamirkan Republik Islam Iran. Sebuah negara dengan konstitusi yang meletakkan kekuasaan tertinggi pada Wali Faqih. Dan Wali Faqih itu adalah dirinya sendiri.
Kebijakan Khomeini penuh kontroversi: alkohol dilarang, musik barat dicekal, perempuan diwajibkan berhijab, oposisi dipenjara.
Tapi bagi pengikutnya, ia adalah mujtahid besar. Seorang mujaddid. Bagi Barat? Ia momok. Imam yang tak bisa dibeli. Simbol anti-Amerika yang nyata dan tanpa kompromi.
Khomeini wafat 3 Juni 1989. Tapi bayangannya tetap panjang. Tak hanya di Iran, tapi juga di Lebanon, Irak, Suriah, bahkan hingga Gaza.
Sebagian menyebutnya sebagai tokoh kebangkitan Islam. Sebagian lain menyebutnya diktator berjubah.
Dan di tengah dua ekstrem itu, tetap berdiri satu kenyataan: tak bisa bicara Timur Tengah tanpa menyebut nama Ruhollah Khomeini.
Profil Ayatollah Ruhollah Khomeini, sampai hari ini, tetap menjadi narasi terbuka.
Bukan hanya sejarah, tapi juga perdebatan abadi tentang kekuasaan, agama, dan harga dari sebuah revolusi.
“Ia bukan hanya menggulingkan Syah,” kata para pengikutnya, “Ia mengguncang dunia, dari mimbar kecil di pengasingan,”.***