Bogordaily.net – Bunuh diri kembali terjadi di Kota Bogor. Kata yang tak ingin kita dengar, apalagi terjadi di dalam rumah sendiri.
Tapi itulah yang terjadi di Bogor Utara, Senin siang, 23 Juni 2025.
Seorang perempuan 30 tahun memilih mengakhiri hidupnya. Di kamar lantai dua. Di saat ayahnya menyiapkan makan siang—sop kepala kambing.
Tidak apa yang tahu bagaimana rasa terakhir yang tersisa di hati perempuan itu.
Tapi, dari laporan polisi dan penuturan Ipda Eko Agus, Humas Polresta Bogor Kota, ia adalah seorang ibu rumah tangga yang sedang dihimpit utang.
Dan utang, seperti kita tahu, bisa lebih sunyi dari kanker.
Bunuh diri. Lagi-lagi ini bukan sekadar statistik. Ini cerita. Dan cerita ini dimulai dari dapur. Dari suara panci yang mendidih.
Dari aroma kuah kambing yang menyengat. Dari panggilan seorang ayah yang tak disahut.
“Sekira pukul 14.45 WIB, setelah memasak sop kepala kambing kemudian ayahnya memanggil anaknya,” ujar Ipda Eko kepada wartawan. Anaknya—perempuan itu—tak menjawab.
Ayahnya naik ke lantai dua. Dan di sana, ia menemukan apa yang tak pernah dibayangkannya seumur hidup: anak perempuan satu-satunya, tergantung, diam, tak lagi menjawab.
Mendengarkan bagian ini pasti tertegun. Karena kita semua tahu: tak ada satu pun orang tua di dunia yang siap menemukan anaknya dalam kondisi begitu. Apalagi setelah menyiapkan makan siang.
Perempuan itu tak meninggalkan surat. Tak ada jejak digital yang bisa ditafsirkan. Yang tertinggal hanya cerita pendek tentang utang.
Utang yang mungkin kecil di mata orang lain. Tapi cukup besar untuk membuatnya merasa sendirian.
Polisi datang. Tetangga berkumpul. Tapi cerita ini tidak berakhir di ruang autopsi. Keluarga menolak.
Jenazahnya pun dimakamkan dengan tenang, tanpa pembedahan. Barangkali mereka ingin menyimpan duka itu utuh, tidak diiris lagi oleh pisau prosedur.
Bunuh diri di Kota Bogor. Kata itu kini jadi lebih dekat. Lebih nyata. Bukan hanya di berita.
Bukan cuma di film. Tapi di rumah orang biasa. Di pinggiran Kota Bogor. Di tengah keluarga yang hanya ingin makan siang bersama.
Tidak ada penjelasan siapa yang meminjamkan uang kepadanya. Tidak tahu berapa jumlahnya.
Tidak tahu seberapa berat rasa malu yang ditanggungnya. Tapi satu hal: perempuan itu tidak ingin mati. Dia hanya tidak melihat jalan lain untuk hidup.
Dan mungkin, kita pun sering tak tahu: bahwa di balik pintu kamar, di balik suara kompor, ada seseorang yang sedang sangat ingin didengar.***