Friday, 27 June 2025
HomeOpiniAmerika Tanpa Suaka

Amerika Tanpa Suaka

Amerika Serikat mengklaim dirinya sebagai kampiun demokrasi, pelindung hak asasi manusia dan pengawal tatanan dunia yang bebas. Negara ini tidak hanya memprakarsai lahirnya arsitektur hukum internasional pasca-Perang Dunia II. Ia juga selalu berusaha tampil sebagai pemimpin moral dalam menyuarakan perlindungan terhadap kaum minoritas, pengungsi, dan korban penindasan politik. Kini, di era pemerintahan Donald Trump, seluruh kredo moral itu runtuh secara dramatis.

Salah satu yang runtuh akibat pelanggaran serius terhadapnya adalah prinsip non-refoulement—norma yang melarang negara mengusir siapa pun ke wilayah di mana ia beresiko mengalami penyiksaan, penganiayaan, atau perlakuan yang tidak manusiawi. Prinsip ini tak muncul dari ruang kosong, bukan sekadar produk dari abstraksi hukum, melainkan lahir dari sejarah yang getir.

Pada 1939, sebuah kapal bernama St. Louis berlayar dari Jerman membawa lebih dari sembilan ratus pengungsi Yahudi yang melarikan diri dari kekejaman Nazi. Mereka ditolak masuk oleh Kuba, Amerika Serikat, dan Kanada. Setelah mereka kembali ke Eropa, lebih dari dua ratus penumpangnya tewas di kamp konsentrasi. Tragedi ini menjadi monumen kegagalan moral negara-negara demokratis dan mendorong dunia menyepakati bahwa penolakan terhadap pengungsi adalah kekejaman terhadap kemanusiaan.

Dari trauma itulah prinsip non-refoulement lahir: sebagai kewajiban absolut dalam hukum internasional. Ia menjadi prinsip fondasional dalam Konvensi Pengungsi 1951, diperluas secara tegas dalam Pasal 3 Konvensi Menentang Penyiksaan (CAT), dan dikuatkan kembali dalam Pasal 7 Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR). Amerika Serikat sendiri telah meratifikasi CAT dan ICCPR masing-masing pada tahun 1994 dan 1992, menjadikan prinsip ini bukan hanya komitmen moral, tetapi kewajiban hukum nasional.

Perlu dicamkan, non-refoulement memiliki status jus cogens—norma hukum tertinggi yang tidak bisa dinegosiasikan atau dikesampingkan oleh hukum nasional. Ia juga bersifat non-derogable, tidak boleh ditangguhkan dalam keadaan apa pun. Dan merupakan obligatio erga omnes, yaitu kewajiban yang mengikat semua negara demi kepentingan umat manusia.

***

Tapi Trump tak memandang semua itu penting, apalagi memperhitungkannya. Melalui kebijakan Migrant Protection Protocols (MPP)—yang juga dikenal luas dengan nama “Remain in Mexico”—ribuan pencari suaka dari Amerika Tengah dipaksa menunggu di wilayah perbatasan Meksiko yang rawan kekerasan. Banyak dari mereka tinggal dalam kondisi berbahaya tanpa perlindungan hukum. Deportasi kilat (dalam istilah resmi: expedited removal) diberlakukan secara masif, tanpa proses hukum yang memadai dan adil, bahkan terhadap mereka yang berhak atas perlindungan internasional. Dalam sejumlah kasus, kebijakan ini meminta korban jiwa—seperti yang terjadi pada seorang pria Guatemala bernama Ramiro Gomez.

Melarikan diri dari ancaman geng bersenjata di kampung halamannya, Gomez dideportasi hanya beberapa hari setelah masuk ke AS. Tak lama, ia ditemukan tewas ditembak di pinggir jalan di daerah asalnya. Gomez dideportasi tanpa ia sempat mendapatkan pendampingan hukum atau pemeriksaan yang layak oleh Uncle Sam. Padahal, hak mencari suaka adalah hak fundamental yang dijamin dalam sistem hukum internasional, khususnya bagi setiap individu yang mengalami penindasan dan ancaman terhadap hidupnya.

Tapi politik imigrasi Trump bukanlah sekadar teknik pengetatan perbatasan. Ia adalah proyek ideologis yang lebih dalam yang memaknai negara sebagai milik satu kelompok dominan dan menolak keberadaan “orang luar” karena dipandang sebagai ancaman terhadap kemurnian identitas. Negara dan hukum, dalam proyek ideologis itu, berganti kelamin: tak lagi berfungsi untuk melindungi, melainkan untuk membatasi, menghalangi, bahkan menghukum yang lian.

***

Pada titik itulah pemikiran Judith Shklar menggugah kita: fungsi utama negara liberal bukanlah merealisasikan dunia yang sempurna, tetapi mencegah kekejaman. Menurut Shklar, kekejaman adalah bentuk tertinggi dari ketidakadilan politik. Negara yang benar, menurutnya, seharusnya hadir sebagai pelindung warga dari kekejaman dan ketakutan — bukan sebagai pelaku atau fasilitatornya.

Shklar memperingatkan bahwa sejarah dipenuhi oleh contoh negara yang justru menjadi sumber penderitaan bagi warganya. Itulah sebabnya skeptisisme terhadap kekuasaan harus menjadi fondasi etika liberal.

Trump adalah antitesis dari negara yang welas asih pada warganya. Negara Amerika di bawah Trump telah berubah menjadi organisasi raksasa sumber ketakutan. Dampaknya meluas ke segala arah. Di mata dunia, kredibilitas moral Amerika sebagai pelindung hak asasi manusia runtuh. Di dalam negeri, kebijakan ini memperdalam polarisasi, mengikis empati, dan menggoyahkan legitimasi demokrasi. Sebagian masyarakat mendukungnya atas nama keamanan nasional, sementara sebagian lain melihatnya sebagai pengkhianatan terhadap nilai-nilai konstitusional.

Survei publik menunjukkan bahwa mayoritas warga Amerika, terutama generasi muda, menolak politik imigrasi Trump karena tidak manusiawi. Banyak tokoh agama, akademisi, hingga hakim federal bersuara bahwa demokrasi yang digunakan untuk mengusir dan membungkam mereka yang paling membutuhkan perlindungan, pada akhirnya kehilangan daya moralnya sendiri.

Begitulah, prinsip non-refoulement bukanlah sekadar butir dalam traktat internasional. Ia adalah cermin dari keberadaban suatu bangsa. Dan di bawah Trump, cermin itu memantulkan wajah Amerika yang kehilangan kemuliaannya: sebuah negara, yang dalam upayanya membangun dan mempertahankan tembok, justru merobohkan tiang-tiang nilai yang selama ini ia junjung.***

Ditulis oleh:
, Pernah menjadi pengurus Dewan Pimpinan Pusat Partai Demokrat.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here