Bogordaily.net – Tepat 27 tahun berlalu sejak Tragedi Trisakti mengguncang bangsa. Sebuah peristiwa kelam yang menorehkan luka mendalam dalam sejarah perjuangan demokrasi Indonesia.
Empat mahasiswa Universitas Trisakti gugur tertembak oleh aparat keamanan saat menyuarakan aspirasi rakyat secara damai. Hingga kini, keadilan atas peristiwa itu belum juga ditegakkan.
Peristiwa berdarah itu terjadi di tengah krisis moneter yang menghantam Indonesia pada 1997–1998.
Di tengah melonjaknya harga kebutuhan pokok dan ketidakpuasan publik terhadap pemerintahan Orde Baru, mahasiswa dari berbagai kampus turun ke jalan untuk menuntut reformasi.
Salah satu aksi terbesar terjadi di Jakarta, ketika ribuan mahasiswa Universitas Trisakti menggelar demonstrasi damai pada 12 Mei 1998.
Namun, aksi damai tersebut berakhir tragis. Aparat gabungan dari Polri dan TNI melepaskan tembakan ke arah mahasiswa yang hendak kembali ke dalam kampus. Empat mahasiswa tewas tertembak:
• Elang Mulia Lesmana (Fakultas Teknik Arsitektur)
• Hendriawan Sie (Fakultas Ekonomi)
• Heri Hartanto (Fakultas Teknik Mesin)
• Hafidin Royan (Fakultas Teknik Sipil)
Puluhan Mahasiswa Terluka
Puluhan mahasiswa lainnya mengalami luka-luka. Peristiwa ini menyulut kemarahan publik dan menjadi salah satu pemicu utama mundurnya Presiden Soeharto pada 21 Mei 1998, mengakhiri rezim Orde Baru dan membuka gerbang Era Reformasi.
Tragedi Trisakti secara jelas melanggar hak asasi manusia, baik menurut konstitusi Indonesia maupun standar internasional. Pasal 28 dan 28H UUD 1945 menjamin hak berpendapat dan perlindungan dari kekerasan.
Demikian pula Deklarasi Universal HAM (DUHAM) dan Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR) yang menjamin hak untuk menyampaikan pendapat secara damai.
Meski Komnas HAM telah menyelidiki tragedi ini sejak 2001 dan menyatakan adanya indikasi pelanggaran HAM berat, proses hukum terhadap pelaku mandek hingga kini. Kejaksaan Agung berdalih kurangnya bukti, sementara pengadilan HAM ad hoc tak pernah digelar.
Pemerintahan Presiden Joko Widodo pun belum menunjukkan langkah konkret dalam penyelesaian yudisial atas kasus ini, meski beberapa kali menyatakan komitmen untuk menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu.
Meski telah berlalu puluhan tahun, generasi muda tak melupakan peristiwa ini. Aksi peringatan, dokumentasi sejarah, dan kampanye keadilan terus digelar sebagai bentuk memori kolektif dan penolakan terhadap impunitas.
“Kami mungkin tidak menyaksikan langsung bagaimana peluru merobek tubuh rekan-rekan kami di tahun 1998. Tapi kami membaca, kami belajar, dan yang paling penting: kami tidak menutup mata,” ucap Muhamad Fajar Jamalulael, mahasiswa ITB Ahmad Dahlan.
“Kami tidak lahir saat itu, tapi kami peduli hari ini,” tambahnya.
“Keadilan bukanlah hadiah yang turun dari langit, tapi hasil dari keberanian kita menolak yang salah dan memperjuangkan yang benar.”
In Memoriam dan Sebuah Tanggung Jawab
Tragedi Trisakti adalah pengingat bahwa ketika kekuasaan disalahgunakan dan suara rakyat dibungkam, nyawa generasi muda bisa menjadi korban. Keadilan atas tragedi ini bukan sekadar urusan masa lalu, tapi kompas moral bagi masa depan bangsa.
Sebagai warga negara, kita memiliki tanggung jawab untuk terus mengingat, mengawal kebenaran, dan memastikan pelanggaran serupa tidak pernah terulang. Tragedi ini tidak boleh dilupakan, sebab melupakan berarti membuka jalan bagi tragedi yang sama untuk kembali terjadi.
(Muhamad Fajar Jamalulael/ITB Ahmad Dahlan)