Bogordaily.net – Pernikahan anak KDM — Dedi Mulyadi — yang semula diniatkan sebagai pesta rakyat, berubah menjadi duka mendalam bagi warga Garut.
Jumat siang (18 Juli 2025), langit Garut yang semula cerah mendadak murung.
Panggung hiburan rakyat yang digelar sebagai bagian dari rangkaian pernikahan Maula Akbar Mulyadi Putra dan Putri Karlina itu mendadak berubah menjadi arena kepanikan massal.
Acara yang digelar di lapangan Oto Iskandar Dinata, Kecamatan Garut Kota, sejak siang sudah dipadati ribuan warga.
Warga menyemut, memadati setiap celah, bahkan sebelum matahari tergelincir ke barat.
Mereka datang membawa harapan sederhana: ingin merasakan euforia pesta pernikahan anak KDM, yang katanya untuk rakyat.
Namun, ribuan langkah kaki yang datang dengan semangat, pulang dengan dera air mata.
Seorang pedagang bernama Nelis menjadi saksi.
“Dari pagi sudah banyak. Tapi mulai siang desak-desakan. Banyak yang jatuh, pingsan,” ujarnya kepada wartawan di RSUD dr. Slamet Garut.
Ia sempat membantu menggotong seorang anak kecil ke ambulans. Ambulans datang dan pergi tanpa jeda. Seperti parade sunyi di tengah hiruk pikuk yang tak lagi menggembirakan.
Tiga orang dilaporkan tewas. Salah satunya, Vania Aprilia, bocah perempuan berusia 8 tahun.
“Iya, anak saya,” kata ibunya, Mela Puri, dengan mata sembab dan suara nyaris tak terdengar.
Petaka itu terjadi di tengah kemeriahan panggung. Musik masih mengalun. Orang-orang di barisan depan tak tahu apa yang terjadi di belakang.
Yang terjepit, terinjak, tertindih — hanyalah bagian dari keramaian yang tak sempat dikendalikan.
Kini publik bertanya-tanya: mengapa pengamanan begitu longgar? Mengapa massa tidak diatur? Mengapa skenario keramaian seperti ini bisa luput dari perhitungan?
Pernikahan anak KDM, yang diharapkan menjadi contoh pesta rakyat modern, justru menjadi catatan kelam bagi Garut dan Jawa Barat.
Ini bukan sekadar tragedi, ini adalah alarm keras bagi siapa pun yang ingin membaurkan kekuasaan dengan keramaian rakyat tanpa sistem yang matang.
Dan di balik semua itu, tiga keluarga kini berkabung. Mereka tak butuh panggung. Mereka hanya ingin keadilan dan pengakuan: bahwa anak-anak mereka bukan sekadar korban dari gegap gempita yang gagal dikelola.
Pernikahan anak KDM akan dikenang bukan hanya karena pasangan yang menikah, tapi karena nyawa yang melayang.***