Bogordaily.net – Salah satu persoalan serius yang sedang dihadapi bangsa Indonesia saat ini adalah tingginya angka pengangguran. Peningkatan pengangguran bukan hanya sekadar masalah ekonomi, tetapi juga berimplikasi luas terhadap berbagai aspek kehidupan. Ketika pengangguran meningkat, angka kemiskinan ikut meningkat. Meningkatnya kemiskinan pada akhirnya memicu tingginya angka kriminalitas. Tingkat kriminalitas yang tinggi akan berdampak pada stabilitas sosial, ekonomi, dan psikologis masyarakat.
Dari sisi sosial, maraknya kejahatan menurunkan rasa aman dan menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum. Kondisi ini juga membuat investor enggan menanamkan modalnya, yang pada akhirnya menghambat pertumbuhan ekonomi serta menurunkan pendapatan masyarakat. Dari sisi psikologis, rasa tidak aman yang berkepanjangan memunculkan stres kolektif, kecemasan berlebih, dan gangguan kesehatan mental lainnya.
Lembaga pendidikan, khususnya perguruan tinggi yang seharusnya menjadi mercusuar peradaban, juga tak luput dari sorotan. Meningkatnya angka pengangguran terdidik ini tentu saja membuat pilu hati. Data GoodStats (Februari 2025) mencatat sekitar 1,01 juta lulusan perguruan tinggi menganggur. Sementara itu, Metro News melaporkan terdapat 177.000 lulusan diploma, 1,6 juta lulusan SMK, 2 juta lulusan SMA, dan sekitar 2,4 juta lulusan SD dan SMP yang masih menganggur. Angka-angka ini menjadi PR besar, terutama bagi pemerintah dan lembaga pendidikan, untuk merefleksikan kembali mutu dan relevansi penyelenggaraan pendidikan dengan kebutuhan sosial, teknologi, dan industri.
Jika dicermati, pola pembelajaran di lembaga pendidikan kita dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi masih didominasi metode ceramah. Anak-anak lebih banyak mendengarkan penjelasan guru atau dosen dan mencatatnya tanpa diberi ruang berpikir kritis. Guru juga terkadang merasa tidak nyaman jika menerima pertanyaan kritis atau pendapat yang berbeda dari siswanya. Kadangkala, hal ini juga dianggap tidak sopan tanpa dikaji secara kritis. Hal ini bisa terjadi karena adanya miskonsepsi mengenai sopan santun. Akibatnya, peserta didik cenderung pasif dan hanya menjadi “kolektor informasi.” Hal ini berbeda dengan praktik di negara lain.
Di Inggris, misalnya, anak-anak diperkenalkan buku bergambar yang menarik sejak dini dan didorong untuk mengkritisi isinya sehingga secara tidak sadar mereka diajarkan berpikir kritis sejak dini. Di Finlandia, pendidikan berfokus pada kebutuhan peserta didik (student needs) sehingga pembelajaran bersifat lebih implementatif dan pragmatis. Sementara di China, siswa sudah dikenalkan berbagai keterampilan praktis seperti menjahit dan membuat bangunan sederhana, sehingga kecerdasan intelektual dan keterampilan mereka berkembang seimbang.
Kondisi ini menjadi catatan penting bagi kita semua, terutama bagi insan pendidikan. Pola pembelajaran di perguruan tinggi kita bahkan pada level magister dan doktoral masih didominasi ceramah sehingga lulusan lebih pandai berbicara ketimbang menghasilkan karya nyata. Bahkan syarat lulusnya pun mereka harus mampu berkata-kata mempertahankan argumentasi karyanya dari pertanyaan-pertanyaan dosen pengujinya. Karena itu, reformasi pendidikan mutlak diperlukan agar lembaga pendidikan kembali pada marwahnya, mencetak manusia yang berpikir kritis, kreatif, dan siap berkontribusi nyata bagi masyarakat. ***
Penulis: Irwan Maulana -Dosen Institut Ummul Quro Al Islami Bogor