Presiden Prabowo Subianto telah menggunakan salah satu kewenangan konstitusional yang paling tinggi dan sensitif dalam sistem ketatanegaraan kita, ketika ia memberikan abolisi kepada Thomas Trikasih Lembong, mantan Menteri Perdagangan.
Abolisi ini menghentikan proses hukum terhadap Pak Lembong, termasuk menghapus dakwaan pidana terhadapnya.
Pasal 14 UUD 1945 memang memberi Presiden Prabowo kewenangan untuk memberi grasi, amnesti, abolisi, dan rehabilitasi. Kekuasaan ini bersifat ekstra-yudisial, yaitu berada di luar sistem peradilan.
The last shelter of justice
Secara umum, kekuasaan tersebut diberikan oleh konstitusi kepada Presiden untuk memastikan penegakan hukum tidak berjalan secara berlebihan atau sewenang-wenang.
Dalam negara demokrasi, Presiden terpilih diberi kekuasaan oleh konstitusi untuk memberi pemaafan, dalam bentuk grasi, amnesti, atau abolisi. Presiden, dalam negara demokrasi, adalah the last shelter of justice. Ia diberi kekuasaan oleh konstitusi untuk mengecek kekuasaan kehakiman. Ini bukan pelanggaran terhadap prinsip pemisahan kekuasaan—melainkan bagian dari mekanisme checks and balances itu sendiri.
Bila hukum gagal mewujudkan keadilan substantif, maka negara harus memiliki instrumen korektif untuk memulihkannya. Dalam konteks ini, kekuasaan Presiden untuk memberi abolisi, misalnya, bukanlah anomali, tetapi justru bagian dari mekanisme demokratik untuk menyelamatkan warga negara dari miscarriage of justice atau hukuman yang eksesif.
Presiden, dalam sistem demokrasi, adalah satu-satunya aktor konstitusional yang memegang legitimasi elektoral langsung dari rakyat. Karena itu, ia diberi mandat untuk bertindak dalam ruang moral dan politis yang lebih luas daripada pengadilan. Bila hukum bekerja terlalu mekanistik atau bahkan berpotensi disalahgunakan oleh aparat penegak hukum, seorang Presiden terpilih harus keluar dari istananya dan menjadi perlindungan terakhir bagi rakyatnya.
Fungsi Demokratik dan Batas Etis
Dalam sejarah demokrasi, kekuasaan untuk memberikan abolisi memiliki fungsi korektif, kemanusiaan, dan rekonsiliatif yang penting. Misalnya, untuk meluruskan proses hukum yang ternoda.
Ketika proses hukum diyakini berangkat dari motif politis atau tekanan non-yuridis, abolisi menjadi cara Presiden untuk mengembalikan integritas hukum sebagai instrumen keadilan, bukan kekuasaan.
Tidak semua yang legal itu adil. Abolisi memungkinkan negara untuk berpikir ulang terhadap siapa yang sedang dihukum, dalam konteks apa, dan apakah hukuman itu benar-benar mencerminkan keadilan.
Demokrasi sejati harus mampu mengakui kesalahan yang diperbuat di dalam rumahnya dan bersedia memperbaikinya — bahkan lewat jalur kekuasaan yang sangat sensitif sekalipun.
Namun, kekuasaan pemaafan, bila tidak dibatasi oleh etika dan akuntabilitas, dapat menjadi racun yang membunuh demokrasi dari dalam. Dalam banyak kasus di berbagai negara, kekuasaan Presiden untuk memaafkan, dalam berbagai jenisnya termasuk abolisi dan amnesti, telah disalahgunakan oleh para pemimpin yang ingin melindungi diri sendiri, keluarga, kroni politik, atau kepentingan oligarkis.
Ada beberapa hal yang secara prinsipil tidak boleh dilakukan oleh Presiden dalam menggunakan kuasa pemaafan atau pengampunan ini:
1. Mengampuni diri sendiri atau orang yang terlibat langsung dalam kejahatan yang berkaitan dengan kekuasaan Presiden. Ini adalah bentuk konflik kepentingan ekstrem dan pelanggaran terhadap prinsip no one is above the law.
2. Menghentikan proses hukum atau menjatuhkan pengampunan demi melindungi sekutu politik tanpa alasan hukum yang dapat diverifikasi publik. Ini akan mengubah kuasa pemaafan menjadi alat impunitas.
3. Menggunakan kekuasaan pemaafan sebagai alat untuk melemahkan independensi lembaga peradilan, dengan mencampuri proses hukum secara sistematis dan sewenang-wenang.
4. Mengabaikan transparansi dan pertanggungjawaban publik, sehingga kekuasaan pemaafan tidak bisa diaudit secara moral maupun politik.
Dalam semua bentuk penyalahgunaan tersebut, kekuasaan yang semula dirancang untuk menjaga demokrasi, berubah wujud menjadi alat pengkhianatan terhadap demokrasi. Semua itu akan mengikis kepercayaan publik, meruntuhkan supremasi hukum, dan memperdalam jurang ketidaksetaraan di hadapan hukum.
Kesimpulan
Kesimpulannya, demokrasi bukan hanya tentang legitimasi elektoral, tetapi juga tentang batas kekuasaan dan cara kekuasaan dijalankan. Kekuasaan konstitusional Presiden memberi pengampunan, termasuk abolisi dan amnesti, harus selalu digunakan secara hati-hati, dengan kesadaran penuh bahwa ia dapat menyelamatkan keadilan—atau justru menghancurkannya. ***
Ditulis oleh: Rachland Nashidik