Sunday, 17 August 2025
HomeKota BogorKetua PHRI Bogor Yuno Abeta Lahay Buka Suara soal Polemik Royalti Musik

Ketua PHRI Bogor Yuno Abeta Lahay Buka Suara soal Polemik Royalti Musik

Bogordaily.net – Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Kota Bogor, Yuno Abeta Lahay, memberikan penjelasan soal perdebatan publik terkait kewajiban pembayaran royalti musik yang belakangan menjadi sorotan.

Yuno menegaskan bahwa ketentuan mengenai royalti sebenarnya bukan hal baru. Aturan itu sudah tercantum dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta dan mulai diterapkan sejak 2016.

“Isu ini mencuat setelah kasus salah satu gerai makanan di Bali yang nilainya sampai miliaran rupiah. Dari sana timbul banyak kesalahpahaman. Padahal, mekanisme ini seharusnya dipahami betul oleh para pengusaha restoran dan kafe,” ujar Yuno, Minggu 17 Agustus 2025.

Menurutnya, biaya royalti memang cukup memberatkan, terutama di tengah kondisi ekonomi yang belum sepenuhnya pulih.

Ia mencontohkan, restoran dengan kapasitas 100 kursi bisa dikenakan tarif Rp120 ribu per kursi, sehingga total yang wajib dibayarkan sekitar Rp12 juta per tahun.

“Masalahnya, kursi itu kan tidak selalu penuh terisi. Nah, keadilan inilah yang sedang kami perjuangkan,” kata Yuno.

Lebih jauh ia menjelaskan, ekosistem royalti melibatkan tiga unsur penting: pelaku usaha sebagai pengguna musik, Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) maupun LMKN sebagai pengumpul sekaligus penyalur, dan pemilik hak cipta yaitu pencipta, musisi, maupun produser.

Persoalan muncul karena adanya keluhan mengenai transparansi serta pembagian yang dianggap tidak jelas.

“Contoh kasus yang sempat dialami musisi seperti Ari Lasso memperlihatkan adanya persoalan akuntabilitas. Maka momentum sekarang sebaiknya dijadikan ajang evaluasi undang-undang dan perbaikan sistem agar lebih terbuka dan bisa dipertanggungjawabkan,” jelasnya.

PHRI, lanjut Yuno, mengusulkan agar sistem royalti modern berbasis digitalisasi dan direct licensing.

Dengan cara itu, setiap lagu yang diputar langsung tercatat secara otomatis dan royalti bisa disalurkan tanpa perantara.

Ia menegaskan, para pengusaha bukan menolak kewajiban membayar, melainkan hanya ingin sistem yang lebih jelas.

“Kami paham bahwa musisi menggantungkan hidup dari sini. Jadi kami siap membayar, asalkan uang yang disetor benar-benar sampai kepada yang berhak tanpa hambatan,” katanya.

Yuno juga mengingatkan bahwa sesuai aturan, pelaku usaha hanya memiliki dua opsi: tetap memutar musik dengan konsekuensi membayar royalti, atau memilih tidak memutarnya sama sekali. Beberapa kafe bahkan sudah memilih opsi kedua untuk menghindari risiko hukum.

“Tentu ada pengaruh ke suasana dan mungkin juga pendapatan, karena musik selama ini menjadi nilai tambah. Tapi ini sekaligus edukasi bagi konsumen, bahwa kalau musik tidak terdengar di kafe atau restoran, itu adalah konsekuensi aturan. Fokus kita tetap pada layanan utama, apakah menjual kamar hotel atau menyajikan makanan,” pungkasnya.

(Ibnu Galansa)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here