Bogordaily.net – Sore itu, siapa yang bisa membayangkan perjalanan terakhir seorang pejuang keluarga berakhir begitu tragis. Affan Kurniawan, seorang driver ojek online yang tengah mengantarkan pesanan makanan, tewas setelah tubuhnya terlindas mobil brimob di tengah hiruk-pikuk demonstrasi.
Almarhum bukan bagian dari massa yang turun ke jalan, bukan pula peserta aksi yang mengusung tuntutan politik. Affan seorang pekerja harian yang hidupnya bergantung pada orderan aplikasi. Namun takdir berkata lain, maut menjemputnya di tengah riuh teriakan dan asap gas air mata.
Kabar kepergiannya cepat menyebar. Tidak butuh waktu lama, ribuan driver ojol dari berbagai sudut Jakarta, bahkan kota-kota sekitarnya, datang mengiringi jenazah Affan menuju tempat peristirahatan terakhir.
Mereka yang sebelumnya tidak mengenalnya, tiba-tiba bersatu dalam satu ikatan emosional yang kuat: solidaritas profesi.
Fenomena ini menarik untuk dibaca dari kacamata sosiologi. Émile Durkheim, seorang bapak pendiri ilmu sosiologi, pernah menyebut tentang solidaritas mekanik bahwa ikatan sosial yang tumbuh karena kesamaan pengalaman, profesi, dan kondisi hidup.’
Pemantik Solidaritas Driver Ojol
Para driver ojol, meski berbeda latar belakang daerah dan pendidikan, memiliki kesamaan nasib seperti hidup dalam ketidakpastian, bergantung pada orderan harian, dan rentan oleh risiko jalanan. Dari situlah lahir rasa “sepenanggungan” yang membentuk ikatan emosional yang tak terucap.
Solidaritas ini juga menunjukkan bagaimana komunitas informal modern dapat menggantikan fungsi-fungsi tradisional masyarakat. Jika dulu solidaritas lahir dari ikatan keluarga atau kampung halaman, kini ia tumbuh dari ruang digital antara lain dari notifikasi order, grup WhatsApp komunitas ojol, hingga kabar duka yang viral di media sosial.
Tanpa komando formal, ribuan orang bergerak, menutup jalanan, mengawal peti jenazah seorang yang bahkan belum mereka kenal sehari sebelumnya.
Kisah Affan sekaligus menjadi potret betapa rapuhnya perlindungan terhadap pekerja sektor informal. Mereka bukan hanya menghadapi bahaya dari kecelakaan lalu lintas, tetapi juga berpotensi menjadi korban dari situasi sosial-politik yang tidak mereka ikuti.
Dalam hal ini, peristiwa meninggalnya Affan dapat dibaca sebagai biografi sosial tentang nasib kelas pekerja harian yang berada di persimpangan antara kebutuhan ekonomi dan risiko sosial.
Lambangkan Persaudaraan
Di balik duka, ada pelajaran berharga, kematian Affan telah memunculkan solidaritas yang jarang kita lihat di kota besar yang individualistik. Jakarta yang sering digambarkan sebagai ruang penuh persaingan, seakan berubah menjadi ruang duka kolektif. Ribuan jaket hijau melambangkan persaudaraan yang melampaui identitas personal.
Di titik inilah kita belajar bahwa tragedi bisa memantik kesadaran kolektif. Bahwa di tengah kerasnya hidup, manusia tetap membutuhkan rasa kebersamaan. Solidaritas para driver ojol pada Affan adalah pesan bahwa di balik layar kaca ponsel yang penuh notifikasi, masih ada kemanusiaan yang hidup dan berdenyut di jalan raya.
Affan mungkin hanya satu nama di antara ribuan driver ojol di negeri ini. Tetapi kisahnya mengingatkan kita bahwa setiap pengendara yang melintas di jalanan membawa cerita hidup, perjuangan, dan keluarga yang menanti di rumah.
Di saat tragedi datang, kisah itu bisa menjelma menjadi simbol persaudaraan yang lebih besar dari sekedar profesi yakni solidaritas manusia. Selamat Jalan Affan Kurniawan.
Oleh : Agus Jatmika (Sosiolog, Pemerhati Masalah Sosial)