Saturday, 8 November 2025
HomeOpiniPenanganan Kasus NAPZA: Dekriminalisasi Pengguna Menuju Era Baru

Penanganan Kasus NAPZA: Dekriminalisasi Pengguna Menuju Era Baru

Bogordaily.net – Jumlah penangkapan terhadap pengguna narkotika masih marak terjadi di berbagai wilayah Indonesia. Dalam banyak kasus, muncul dugaan praktik pemerasan oleh oknum aparat penegak hukum, di mana pengguna diminta sejumlah uang sebagai imbalan untuk mendapatkan tuntutan hukum lebih ringan, pembatalan perkara, atau rujukan ke lembaga rehabilitasi.

Ironisnya, lembaga rehabilitasi tersebut sebagian besar merupakan mitra pihak kepolisian, dengan tarif yang tidak konsisten dan kualitas layanan yang belum merata.

Banyak lembaga rehabilitasi yang belum kompeten dalam melaksanakan program pemulihan sesuai prinsip kesehatan berbasis bukti ilmiah.

Padahal, fondasi hukumnya sudah jelas dan progresif. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika secara tegas menempatkan pecandu sebagai subjek yang harus dirawat, bukan semata dihukum.

Semangat ini diperkuat oleh Peraturan Kepala Bareskrim Polri Nomor 01 Tahun 2016 dan Surat Edaran Bareskrim SE/01/II/2018 yang membuka jalan bagi rehabilitasi medis dan sosial.

Peraturan Kepolisian (Perpol) Nomor 8 Tahun 2021 bahkan menandai langkah penting menuju keadilan restoratif — menempatkan pemulihan sebagai bagian dari penegakan hukum, bukan pengecualiannya.

Arah serupa juga diambil Kejaksaan Agung melalui Pedoman Jaksa Agung Nomor 18 Tahun 2021 yang menegaskan: pengguna narkotika seharusnya tidak lagi dijebloskan ke penjara, melainkan diarahkan untuk mendapatkan pemulihan.

Inilah tanda perubahan paradigma yang mulai menggeser hukum dari “alat menghukum” menjadi “ruang penyembuhan”.

Namun sayangnya, di lapangan, perubahan ini masih sering terjebak pada tumpang tindih tafsir dan ego institusi.

Kasus musisi Onadio Leonardo alias Onad, yang diputus menjalani rehabilitasi selama tiga bulan di Yayasan Pemulihan Natura Indonesia (Ultra), menjadi sorotan publik.

Keputusan yang cepat ini menimbulkan pertanyaan tentang kesetaraan dan konsistensi penegakan hukum. Apakah setiap pengguna memiliki peluang yang sama untuk menjalani rehabilitasi, ataukah hanya mereka yang memiliki pengaruh sosial dan sorotan media?

Pertanyaan itu wajar muncul karena banyak pengguna dari kalangan biasa justru langsung dijatuhi pidana penjara tanpa melalui asesmen medis yang layak.

Padahal, esensi kebijakan rehabilitasi adalah keadilan yang memulihkan bukan keistimewaan yang bisa dinegosiasikan. Negara memiliki tanggung jawab memastikan setiap proses asesmen dilakukan secara profesional, terbuka, dan bebas dari kepentingan transaksional.

Ketika rehabilitasi hanya berlaku bagi kalangan tertentu, kepercayaan terhadap sistem hukum dan kesehatan publik akan terus melemah.

Dalam situasi yang kompleks ini, Forum Akar Rumput Indonesia (FARI) mencatat satu hal positif.

Berdasarkan keterangan dari dampingan FARI yang dirujuk pihak kepolisian ke Yayasan Pemulihan Natura Indonesia (Ultra), terlihat adanya komitmen lembaga ini untuk berbenah secara profesional.

Ultra mulai menerapkan asesmen berbasis data medis, melibatkan tenaga ahli berlisensi, serta memperbaiki tata kelola program pemulihan. Memang belum sempurna, tetapi sudah menuju arah yang lebih baik.

Langkah ini patut diapresiasi , bukan karena lembaga tempat rehabilitasi figur publik, melainkan karena menjadi contoh bahwa perubahan itu mungkin dilakukan bila ada kemauan dan pengawasan publik yang kuat.

Pada akhirnya, keberhasilan penanganan kasus NAPZA di Indonesia tidak akan diukur dari berapa banyak orang yang ditangkap, melainkan dari seberapa manusiawi negara memperlakukan warganya.

Rehabilitasi harus menjadi jalan pemulihan yang terbuka bagi semua, bukan sekadar ruang aman bagi mereka yang memiliki privilese.

Upaya-upaya perbaikan seperti yang dilakukan Yayasan Ultra menunjukkan bahwa perubahan itu mungkin, asal disertai kemauan politik dan pengawasan publik yang jujur.

Karena di tengah sistem hukum yang masih timpang, keberanian untuk memulihkan bukan menghukum adalah bentuk tertinggi dari keadilan.

Profil Organisasi

Forum Akar Rumput Indonesia berdiri pada tahun 2018 sebagai kolektif paralegal independen yang berfokus pada pendampingan hukum bagi kelompok marginal, khususnya individu yang berhadapan dengan hukum kasus narkotika.

Forum ini memberikan layanan pendampingan hukum baik litigasi maupun non-litigasi, serta memfasilitasi akses rehabilitasi dan layanan kesehatan bagi pengguna Napza yang terdampak.

Dengan anggota yang tersebar di 12 provinsi, Forum Akar Rumput Indonesia memanfaatkan teknologi komunikasi sebagai sarana koordinasi, edukasi, dan respon cepat terhadap berbagai kasus hukum dan kemanusiaan di tingkat komunitas.

Seluruh kegiatan dijalankan secara mandiri tanpa dukungan donor, berlandaskan semangat gotong royong dan solidaritas antaranggota.

Forum Akar Rumput Indonesia berkomitmen memperjuangkan hak asasi, kesetaraan, dan perlindungan hukum bagi pengguna Napza agar mereka memperoleh keadilan, pemulihan, serta kehidupan yang bermartabat tanpa stigma.***

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here