Bogordaily.net — Ada yang menarik dari Musda Asosiasi Rekanan Pengadaan Barang dan Distributor Indonesia (Ardin) Jawa Barat, Sabtu (8/11/2025).
Bukan hanya karena lahirnya nahkoda baru, Tubagus Raditya Indrajaya. Tetapi karena satu kalimat yang ia ulang—dan seolah ingin ia titipkan kepada seluruh pejabat daerah: “Gunakan potensi lokal.”
Raditya resmi memimpin Ardin Jawa Barat untuk periode 2025–2030. Dan begitu terpilih, ia langsung bicara soal satu hal yang seharusnya sudah berjalan otomatis: penerapan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 2 Tahun 2022 tentang penggunaan produk dalam negeri.
Yang menarik, Raditya tidak mengucapkan itu sambil beretorika. Ia datang membawa angka.
“Dari total pengadaan barang dan jasa di Jawa Barat yang mencapai Rp13 triliun, baru sekitar Rp300 miliar yang benar-benar lewat toko daring lokal. Jauh dari 40 persen yang diwajibkan Inpres,” ujarnya.
Angka itu, bagi Raditya, sebuah ironi. Sebuah jurang yang memperlihatkan ketimpangan antara niat kebijakan dan kenyataan di lapangan.
Ardin Jabar Ingin Jadi Agregator UMKM
Di bawah kepemimpinannya, Ardin Jawa Barat ingin menjadi “agregator”—penghubung—antara UMKM lokal dan sistem pengadaan pemerintah. Raditya tahu permainan lama: kedekatan, jaringan, bahkan kebiasaan memilih penyedia dari luar daerah.
“Kami paham, barang dan jasa di kabupaten/kota hingga provinsi seringnya lewat aturan kedekatan. Dan kadang, bukan dari pengusaha lokal,” ujarnya lugas.
Narasinya sederhana, tapi dampaknya panjang: jika pemerintah daerah tidak membeli dari warga daerahnya sendiri, jangan berharap perekonomian lokal bergerak lebih cepat.
“Jadi kami dorong agar pemerintah daerah memakai potensi lokal. Agar pengadaan barang dan jasa itu benar-benar diperoleh pengusaha lokal,” tegas Raditya.
Bamsoet: Logistik Mahal, Industri Lokal Sulit Menang
Ketua Umum Ardin Indonesia, Bambang Soesatyo, hadir memberi dukungan. Ia melihat Ardin Jawa Barat punya “energi baru” untuk menjadi tulang punggung distribusi di provinsi dengan ekonomi terbesar kedua di Indonesia itu.
“Saya bangga melihat visi Ardin Jabar ini. Sangat strategis untuk menjadi ujung tombak antara industri, distribusi, dan pasar,” kata Bamsoet.
Namun ia juga mengingatkan satu persoalan klasik: biaya logistik Indonesia masih terlalu tinggi.
Tidak hanya soal pungutan liar di jalanan. Tetapi struktur distribusi darat yang berbiaya besar. Sebuah hambatan lama yang membuat produk lokal kalah bersaing dengan barang impor.
“Industri hilir kita bisa hebat. Tapi kalau logistik mahal, tetap tidak bisa bersaing,” ujarnya.
Bamsoet melihat satu tugas penting Ardin Jawa Barat: membedah dan menekan biaya logistik. Membantu pelaku usaha tumbuh lebih efisien.
Itulah misi besar yang menanti Tubagus Raditya Indrajaya. Membalik angka Rp300 miliar itu. Menjadikannya bukan sekadar statistik yang dibacakan di podium, tetapi bukti bahwa pengusaha lokal tidak lagi hanya menjadi penonton di rumahnya sendiri.***
