Friday, 21 November 2025
HomeOpiniMemahami Ulil Amri Lintasan Zaman Dari Wahyu ke Realitas Sosial

Memahami Ulil Amri Lintasan Zaman Dari Wahyu ke Realitas Sosial

Konsep ulil amri dalam Islam merupakan salah satu gagasan kunci yang terus mengalami perluasan makna seiring perubahan sosial-politik umat Muslim.

Ayat “wa ulī al-amri minkum” (QS. An-Nisā’: 59) sejak masa awal sudah menjadi pusat perdebatan teologis dan politik, karena ia mengandung dua pesan besar sekaligus: seruan ketaatan dan isyarat adanya struktur kepemimpinan dalam masyarakat Islam. Namun, siapa yang dimaksud sebagai ulil amri bukanlah persoalan sederhana—ia berubah mengikuti dinamika zaman, ruang geografis, dan perkembangan institusi sosial.

Pada masa pewahyuan, ayat ini berfungsi mengintegrasikan hubungan antara wahyu, otoritas, dan masyarakat. Tetapi dalam perjalanan sejarah, maknanya bergerak dari figur tunggal yang memiliki legitimasi kenabian menuju bentuk-bentuk kepemimpinan kolektif dan struktural yang kita kenal dalam pemerintahan modern. Pergerakan makna ini menunjukkan bahwa Islam sejak awal membuka ruang luas bagi ijtihad sosial, sehingga konsep ulil amri terus relevan dibicarakan dalam setiap fase perkembangan peradaban Muslim.

Pada era Rasulullah Muhammad ﷺ, ulil amri tidak bersifat abstrak: ia terpersonifikasi langsung dalam diri Nabi sebagai pemimpin moral, spiritual, hukum, dan politik. Nabi membimbing masyarakat tidak hanya melalui wahyu, tetapi juga melalui kebijakan-kebijakan sosial yang menjawab kondisi nyata masyarakat Madinah.

Salah satu manifestasi paling jelas dari kepemimpinan beliau adalah Piagam Madinah, dokumen sosial-politik pertama yang mengatur relasi antar suku dan agama di Madinah. Dari sini terlihat bahwa kepemimpinan Nabi berada pada dua poros:

1. Otoritas Ilahi (wahyu) – melalui penyampaian risalah dan penegakan nilai-nilai ilahiah.
2. Otoritas Sosial-Politik (wilayah) – melalui keputusan-keputusan administratif, hukum, dan strategi yang mengatur masyarakat.

Karena itu, ulil amri pada masa ini merupakan integrasi total antara agama dan tata kelola masyarakat; tanpa sekat, tanpa dualisme.

Ketika Rasulullah wafat, komunitas Muslim menghadapi kenyataan baru: otoritas kepemimpinan tidak lagi berada pada sosok yang menerima wahyu. Pada masa Khulafā’ ar-Rāsyidīn, ulil amri berpindah kepada manusia biasa yang saleh dan adil, namun tanpa keistimewaan kenabian.

Pada periode ini, konsep ulil amri mulai memperoleh bentuk sosial-politik yang lebih jelas: pemimpin adalah penjaga agama dan pengatur urusan dunia, bukan pewaris wahyu.

Ibnu Khaldun dalam Muqaddimah menjelaskan sifat ganda kepemimpinan ini:

إِنَّ فِي الْخِلَافَةِ مَعْنًى دِينِيًّا وَسِيَاسِيًّا، فَهِيَ خِلَافَةٌ عَنِ النُّبُوَّةِ فِي حِرَاسَةِ الدِّينِ وَسِيَاسَةِ الدُّنْيَا

“Kepemimpinan (khilafah) mengandung makna keagamaan dan politik sekaligus, karena ia merupakan kelanjutan dari fungsi kenabian dalam menjaga agama dan mengatur urusan dunia.”

(Muqaddimah, Beirut: Dar al-Fikr, 2004, hlm. 191)

Di sinilah struktur pemikiran politik Islam mulai terbentuk: pemimpin tidak lagi menjadi sumber wahyu, tetapi tetap bertugas menjaga agar nilai-nilai wahyu terjaga dan diterapkan secara adil.

Seiring ekspansi wilayah dan keragaman masyarakat Muslim, ulil amri menjadi semakin rumit. Kekuasaan tersebar dari tangan khalifah pusat kepada para gubernur, hakim, ulama fikih, dan institusi keagamaan lain. Dalam periode ini, ulama mulai diakui sebagai bagian dari ulil amri dalam kapasitasnya sebagai penjaga ilmu dan hukum.

Terdapat tiga model otoritas yang tumbuh:

1. Otoritas politik – khalifah, sultan, amir
2. Otoritas keilmuan – para ulama dan fuqahah
3. Otoritas sosial – pemuka masyarakat dan institusi lokal

Dengan demikian, ulil amri tidak lagi terbatas pada satu figur, tetapi pada ekosistem kepemimpinan yang bekerja bersama menegakkan keadilan dan kemaslahatan.

Dalam konteks negara modern, persoalan ulil amri kembali mengemuka. Pemimpin negara tidak lagi bertindak sebagai khalifah, dan sistem pemerintahan bergeser dari monarki sakral menuju negara bangsa dengan birokrasi dan hukum positif.

Karena itu, ulil amri di era kontemporer dipahami setidaknya dalam dua pengertian:

1. Sebagai pemerintah yang sah, yang menjalankan fungsi publik dan menjaga tatanan sosial.
2. Sebagai struktur kolektif, termasuk lembaga negara, parlemen, hakim, dan otoritas keilmuan.

Penekanan utamanya bukan pada siapa yang memegang kekuasaan, tetapi bagaimana kekuasaan dijalankan: apakah sesuai prinsip keadilan, amanah, dan kemaslahatan.

Di era ketika batas antara agama dan negara semakin cair, umat Islam perlu kembali pada ruh ayat tersebut. Ulil amri bukan sekadar alat legitimasi kekuasaan, tetapi prinsip moral yang menuntut:

* keadilan sosial,
* pengayoman bagi rakyat,
* keterbukaan dalam musyawarah,
* pengelolaan kekuasaan secara amanah,
* serta perlindungan terhadap martabat manusia.

Dengan demikian, ulil amri bukan lagi sekadar figur atau institusi, tetapi nilai dan komitmen etis yang harus hadir dalam setiap sistem kepemimpinan.

Ditulis Oleh: Ustadz Daniel Zein S.Pd, Pengasuh Pesantren Modern Ummul Quro Al-Islami dan Mahasiswa Magister Management Pendidikan Islam di IUQI

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here