Bogordaily.net – Wanita Ludahi Alquran viral. Tiga kata itu seperti petir. Bukan hanya di layar ponsel. Tapi juga di kepala jutaan orang yang menontonnya.
Wanita Ludahi Alquran Viral—begitu cepat, begitu liar, begitu memancing amarah. Bahkan sebelum orang mencoba memahami apa yang sebenarnya terjadi, kebencian sudah terlebih dahulu tiba.
Wanita ludahi Alquran viral itu bukan sekadar video. Ia adalah percakapan besar tentang batas moral, dunia digital, dan kewarasan manusia. Juga tentang apa yang masih pantas disebut “konten”.
Video itu pertama kali muncul di platform X—media sosial yang kini lebih cepat menyebarkan emosi daripada informasi. Lalu merembet ke Facebook, WhatsApp, Telegram, grup pengajian, grup alumni, grup komplek, sampai akhirnya semua orang berbicara hal yang sama: “Siapa dia? Kenapa dia berani? Di mana polisi?”
Di layar, wanita itu memakai hijab. Tapi tubuhnya tak pantas disebut berpakaian. Ia berdiri dalam sebuah ruangan kecil. Seperti kamar kos. Atau kamar keluarga yang berantakan. Ada suara anak kecil. Ada suara laki-laki di luar bingkai. Dan ia tampak tidak stabil. Bukan hanya dari penampilannya. Tapi dari kalimat-kalimat yang keluar dari mulutnya. Setengah membaca ayat. Setengah memaki. Lalu meludah.
Dan itulah titik di mana publik berhenti menjadi penonton. Mereka berubah menjadi hakim.
Komentar netizen seperti gelombang yang tidak ada ujungnya. Ada yang marah. Ada yang takut. Ada yang justru merasa kasihan.
Seorang pengguna X menulis:
“Dia yang meludah, tapi saya yang takut azabnya.”
Yang lain menulis lebih panjang:
“Tolong jangan hanya marah. Periksa kondisi mentalnya. Kalau dia sakit, maka yang paling butuh pertolongan bukan publik—tapi dia dan anaknya.”
Namun, ada juga yang memilih jalur tegas: “Tangkap. Proses. Tidak ada toleransi untuk penistaan agama.”
Hingga tulisan ini dibuat, polisi masih diam. Tidak ada keterangan resmi. Tidak ada lokasi pasti. Tidak ada identitas. Hanya spekulasi yang berputar—cepat seperti rumor, lambat seperti kebenaran.
Grup komunitas berbagi foto buram orang yang diduga pelaku. Sebagian meminta kejelasan. Sebagian meminta agar video diperbanyak agar mudah melacak. Sebagian lagi mengatakan:
“Stop share. Itu juga termasuk menyebarkan konten penistaan.”
Tapi video itu terlanjur menjadi viral. Terlalu viral.
Dalam situasi seperti ini, publik seperti terbelah menjadi dua:
* Mereka yang ingin pelaku dihukum.
* Mereka yang ingin pelaku diperiksa kesehatan mentalnya terlebih dahulu.
Karena di video itu, ada anak kecil. Ada suara ketakutan. Ada situasi yang tampak tidak normal.
Dan di sinilah realitas digital memperlihatkan wajahnya: satu video bisa menimbulkan gelombang kemarahan berjamaah. Tapi juga empati berjamaah. Dua-duanya besar.
Pada akhirnya, fenomena wanita ludahi Alquran viral ini bukan hanya soal sebuah aksi yang menghina kitab suci. Tapi juga tentang refleksi: seberapa jauh kita sebagai masyarakat membiarkan internet menjadi ruang tanpa pagar?
Ada yang berharap pelaku segera ditangkap. Ada yang berharap ia dirawat. Dan ada yang berharap video itu tidak pernah muncul.
Namun kenyataannya: video itu sudah terlanjur menjadi bagian dari ingatan digital kita. Dan internet tidak pernah lupa.***
