Bogordaily.net – Akhirnya: itu kata yang paling tidak ingin diucapkan Tugimin.
Delapan bulan ia menunggu. Delapan bulan berharap. Delapan bulan menempelkan foto cucunya, Alvaro Kiano Nugroho, di pintu rumah, mushola, tiang listrik, bahkan di layar ponsel—agar siapa pun yang bertemu, langsung ingat wajah polos itu.
Kini: yang kembali bukan cucunya.
Yang kembali hanya tulang.
Kabar itu datang dari Bogor. Tepatnya dari pinggiran Kali Cirewed, Tenjo, Kabupaten Bogor. Polisi menemukannya di semak belukar, dalam wujud paling sunyi dari seorang manusia: kerangka.
Belum pasti itu Alvaro. Tapi polisi hampir yakin. DNA akan memastikan. Ilmu pengetahuan yang mengucapkan kebenaran terakhir.
Sementara itu, hati keluarga sudah runtuh duluan.
Yang menculik Alvaro bukan orang asing. Bukan sindikat. Bukan pemangsa anak yang berkeliaran di internet.
Tidak.
Polisi menyebut pelakunya adalah ayah tirinya sendiri: Alex Iskandar.
Yang selama ini membelikan mainan.
Yang selama ini menggendong Alvaro pulang.
Yang selama ini dianggap keluarga.
Sekarang: ia ditahan.
Belum diketahui apakah ia juga yang mengakhiri hidup anak kecil itu. Polisi masih menyelidiki. Tapi publik sudah lebih dulu memvonis.
Tugimin—kakek yang merawat Alvaro sejak kecil—hanya menatap kosong saat ditanya wartawan.
“Sangat terpukul saya… syok sekali,” katanya.
Kalimatnya pendek-pendek. Tapi jatuhnya berat.
Mungkin karena ia tidak lagi bicara sebagai narasumber berita.
Ia bicara sebagai kakek yang kehilangan cucunya.
Keluarga menyebut sifat Alex hanya satu: cemburuan.
Ia marah bila telepon tidak diangkat. Marah bila merasa diabaikan. Marah bila pikirannya mengarang cerita yang tak ada.
“Cemburunya besar,” kata Tugimin.
Dan seperti banyak tragedi domestik lain: semuanya dimulai dari kecurigaan. Kecurigaan yang tumbuh menjadi api. Api yang akhirnya membakar semua—bahkan yang tidak bersalah. Termasuk seorang anak 6 tahun.
Jika benar kerangka itu Alvaro, maka pencarian telah selesai. Tapi bukan dalam cara yang diinginkan siapa pun.
Jakarta—yang sibuk, ramai, dan cepat—hari ini berhenti sejenak. Untuk satu nama kecil: Alvaro Kiano Nugroho.
Ia tidak pulang dengan langkah kecil dan tawa cerianya. Ia pulang dalam sunyi.
Dan kita semua terlambat menyelamatkannya.***
