Bogordaily.net – Fakultas Hukum Universitas Ibn Khaldun (UIKA) Bogor menyelenggarakan Seminar Nasional dan Diskusi Panel bertema “Dilema Hukum Biaya Pengganti Pengolahan Darah dalam Transformasi Pelayanan Darah Nasional” pada Kamis, 27 November 2025 di Gedung Auditorium UIKA Bogor. Kegiatan ini digelar secara hybrid untuk memperluas jangkauan partisipasi dari berbagai pemangku kepentingan.
Ketua Panitia Seminar Nasional, Iwansyah, menyampaikan bahwa kegiatan ini merupakan respon akademis terhadap kompleksitas regulasi pelayanan darah di Indonesia yang kini memasuki masa transisi kebijakan.
Pelayanan darah di Indonesia saat ini menghadapi persoalan hukum yang cukup rumit, khususnya terkait penetapan Biaya Pengganti Pengolahan Darah (BPPD).
Terbitnya Keputusan Menteri Kesehatan Nomor HK.01.07/MENKES/504/2024 yang menetapkan tarif maksimal Rp490.000 per kantong justru memunculkan konflik norma di lapangan.
Regulasi tersebut bertentangan dengan aturan sebelumnya, yakni Permenkes Nomor 3 Tahun 2023, yang menetapkan tarif BPJS hanya Rp360.000 per kantong. PMK Nomor 83 Tahun 2014, yang memberi kewenangan kepada Direktur/Kepala Rumah Sakit untuk menambahkan tarif maksimal 50% dari BPPD.
“Selisih biaya mencapai Rp130.000 per kantong tersebut dinilai berdampak pada keberlanjutan operasional Unit Transfusi Darah (UTD) di berbagai daerah,” kata Iwansyah.
Selain itu, perubahan kewenangan penetapan tarif dari pemerintah daerah ke pemerintah pusat berdasarkan UU Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan serta PP Nomor 28 Tahun 2024 menimbulkan pertanyaan baru mengenai pembagian tanggung jawab pembiayaan dan harmonisasi regulasi.
Konflik regulasi juga bersinggungan dengan prinsip nirlaba yang diatur dalam undang-undang. UTD dituntut untuk tetap berada dalam koridor non-profit, namun di sisi lain harus memastikan keberlanjutan operasional yang memerlukan kepastian pembiayaan.
“Ketidakpastian hukum dalam penetapan BPPD bukan hanya persoalan administratif, tetapi dapat berdampak langsung pada keselamatan pasien yang membutuhkan transfusi darah,” ujar Iwansyah.
Indonesia membutuhkan sekitar 5,1 juta kantong darah per tahun, namun produksi nasional baru mencapai 4,2 juta kantong atau sekitar 82 persen. Ketidakstabilan sistem pembiayaan dikhawatirkan memperlebar kesenjangan antara kebutuhan dan ketersediaan darah, terlebih di daerah dengan fiskal terbatas.
Seminar nasional ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan menganalisis konflik norma dalam regulasi pelayanan darah. Merumuskan solusi harmonisasi antara Kepmenkes 504/2024, PMK 3/2023, dan PMK 83/2014. Mengklarifikasi pembagian tanggung jawab antara pemerintah pusat dan daerah.
Kemudian mempertegas batasan hukum prinsip nirlaba (cost recovery) versus potensi komersialisasi. Menyusun rekomendasi implementatif untuk reformasi pelayanan darah nasional.
Kegiatan ini menargetkan sekitar 200 peserta dari berbagai kalangan, termasuk akademisi, praktisi hukum, pengelola UTD PMI, manajemen rumah sakit, pejabat dinas kesehatan, hingga mahasiswa hukum dan kesehatan.
Hasil seminar ini diharapkan rekomendasi kebijakan untuk harmonisasi regulasi pelayanan darah. Rumusan konsensus mengenai definisi nirlaba dan pembagian tanggung jawab pembiayaan. Action plan implementatif terkait penerapan Kepmenkes 504/2024 dan roadmap revisi regulasi pelayanan darah yang saat ini tumpang tindih.
Pelayanan darah merupakan hak konstitusional warga negara sebagaimana tertuang dalam Pasal 28H UUD 1945.
Karena itu, Fakultas Hukum UIKA Bogor menegaskan komitmennya untuk mengawal diskursus hukum kesehatan melalui riset, dialog, dan rekomendasi kebijakan.
“Seminar nasional ini diharapkan menjadi momentum penting untuk mempertemukan regulator, penyelenggara layanan, pengelola pembiayaan, akademisi, dan praktisi hukum dalam merumuskan jalan tengah yang menjamin kepastian hukum, keberlanjutan, dan pemerataan pelayanan darah di seluruh Indonesia,” tutupnya.***
Ibnu Galansa
