Bogordaily.net – Nur Aini guru di Pasuruan mendadak jadi bahan perbincangan nasional. Bukan karena prestasi mengajar. Bukan pula karena inovasi pendidikan. Melainkan karena jarak. Jarak yang jauh. Terlalu jauh untuk ukuran seorang guru sekolah dasar.
Namanya Nur Aini. Usianya 38 tahun. Tinggal di Bangil, Kabupaten Pasuruan. Ia ASN. Ia guru SD. Ia ditugaskan di SDN II Mororejo, Kecamatan Tosari—wilayah pegunungan di kaki Bromo. Indah, dingin, sekaligus melelahkan.
Setiap hari, Nur Aini harus menempuh 57 kilometer sekali jalan. Pulang-pergi menjadi 114 kilometer. Berangkat sebelum subuh. Tiba di sekolah mendekati jam masuk. Kadang naik ojek. Kadang diantar suami. Biayanya? Bisa lebih dari Rp100 ribu per hari. Gajinya? Tak sampai Rp3 juta.
Cerita itu ia sampaikan dalam sebuah video. Video itu diunggah oleh praktisi hukum Cak Sholeh ke TikTok. Lalu viral. Simpati publik mengalir. Banyak yang terenyuh. Banyak yang marah. “Ini betul-betul perjuangan guru,” kata Cak Sholeh di video itu.
Di situlah Nur Aini guru di Pasuruan menjadi headline. Menjadi simbol. Simbol kerasnya penugasan. Simbol ketimpangan kebijakan. Tapi juga, ternyata, simbol benturan antara empati publik dan aturan birokrasi.
Pemerintah Kabupaten Pasuruan punya cerita sendiri. Menurut BKPSDM, masalahnya bukan jarak. Masalahnya adalah kehadiran. Nur Aini disebut tidak masuk kerja tanpa keterangan sah lebih dari 28 hari. Itu pelanggaran berat. Ada aturannya. PP Nomor 94 Tahun 2021. Jelas. Tegas.
“Tidak masuk 10 hari berturut-turut atau 28 hari kumulatif dalam setahun, sanksinya pemberhentian,” kata Devi Nilambarsari, Kepala Bidang Penilaian Kinerja Aparatur dan Penghargaan BKPSDM Kabupaten Pasuruan.
Nur Aini membantah. Ia merasa absennya direkayasa. “Absen saya dibolong-bolongi,” katanya dalam video. Ia mengaku dipanggil Inspektorat. Ia mengaku dizalimi. Ia mengaku hanya ingin satu hal: pindah tugas ke Bangil. Lebih dekat. Lebih manusiawi.
“Kulo ingin pindah ke Bangil, Pak, supaya dekat,” ujarnya lirih.
Proses klarifikasi pun digelar. Dua kali. Versi pemda: Nur Aini tidak kooperatif. Pada pemanggilan kedua, ia keluar ruangan dengan alasan ke toilet. Tidak kembali. Klarifikasi gagal. SK pemberhentian diterbitkan. Karena ia tidak datang saat penyerahan, surat itu diantar ke rumahnya di Bangil.
Selesai. Status ASN dicabut.
Di titik ini, kisah Nur Aini guru di Pasuruan menjadi cermin. Cermin tentang kerasnya aturan. Tentang batas empati birokrasi. Tentang nasib guru di daerah. Jarak 114 kilometer itu nyata. Lelahnya juga nyata. Tapi aturan kehadiran ASN pun nyata.
Publik boleh bersimpati. Netizen boleh marah. Namun negara berjalan dengan pasal. Dengan angka. Dengan hitungan hari tidak masuk kerja.
Kasus ini meninggalkan pertanyaan yang menggantung: apakah sistem penugasan sudah cukup adil? Apakah mutasi guru sedemikian sulitnya hingga viral lebih dulu baru didengar? Dan berapa banyak “Nur Aini” lain yang memilih diam—sebelum akhirnya lelah sendiri?
Yang pasti, kisah ini bukan sekadar viral. Ia adalah peringatan. Bagi guru. Bagi birokrasi. Dan bagi kita semua.***
