Friday, 29 March 2024
HomeBeritaA Bui (Sebuah Nama Tionghoa)

A Bui (Sebuah Nama Tionghoa)

Suara orang minta tolong gedubrak-gedubruk menggema di rumah Joko Tole sore itu sekitar pukul 17:00 WIB. Cuaca terang cerah. Saat nyaman bagi siapapun untuk mulai berleha-leha.

Akan tetapi suara lolongan minta tolong mengusik Joko Tole yang sore itu sedang mengisi lampu petromax dengan minyak tanah, untuk persiapan dinyalakan sebagai penerang di rumahnya.

Joko Tole terkejut. Dihadapannya ada A Bui, tetangganya yang etnis tionghoa sudah berdiri gemetar ketakutan. Dia lari masuk rumah Joko Tole tanpa permisi. Lari lintang pukang ketakutan menabrak kursi kayu bulat berkaki 4 besi yang ada dalam rumahnya.

A Bui adalah seorang “Pontien” (istilah orang Gang Rukun, Kampung Kuburan Mangkok untuk menyebut etnis tionghoa yang berasal dari Pontianak).

Pokoknya disebut pontien kalau dia berasal dari Kalimantan Barat. Mau dari Singkawang, Pontianak atau dari daerah Kalimantan Barat lainnya, Pontien, titik.

A Bui badannya besar, berotot dan dia rajin kerjanya. A Bui berusia lebih tua dari Joko Tole. Mungkin selisih 6 atau sekitar 7 tahun.

Joko Tole saat itu kira-kira kelas 2 SMP. Dilihatnya A Bui yang badannya besar gemetar dan menghiba minta pertolongan. Joko Tole akhirnya faham karena di luar rumah terlihat Trisno.

Trisno adalah preman kampung berbadan kerempeng yang namanya di Gang Rukun cukup nyohor. Dalam keadaan setengah teler minuman keras, Trisno memegang gunting kain. Rupanya Trisno mengejar A Bui karena kecewa A Bui tidak memberikan uang sejumlah yang diminta Trisno.

A Bui menjelaskan ia yang kerja sebagai tukang jahit belum menerima upah jahit sehingga tidak bisa memberi sejumlah uang yang diminta Trisno. Di Gang Rukun, Trisno memang terkenal hobi memeras etnis tionghoa.

Orang-orang etnis tionghoa datang ke Gang Rukun hanya bermodalkan tekad untuk merubah masa depan. Mereka datang hanya membawa pakaian dan sedikit uang sewa rumah.

Seingat Joko Tole etnis tionghoa yang datang ke Gang Rukun kebanyakan orang-orang Pontien, yang umumnya kerja di sektor informal sebagai penjahit yang menerima upah jahit konfeksi.

Seingat Joko Tole ada juga beberapa yang berasal dari Bangka tetapi sedikit. Yang dari Bangka rata-rata bekerja sebagai buruh di toko kelontong sembako yang juga dimiliki oleh tionghoa dari Bangka.

Orang-orang tionghoa ini miskin-miskin sehingga disebut sebagai “Cina Dimpil”. Mereka hidup hemat dan bekerja keras. Bahkan kalau perlu makan bubur saja. Etnis tionghoa ini umumnya selalu takut pada orang-orang yang memerasnya seperti Trisno.

Mereka tidak akan pernah melawan. Selain itu mereka bukan WNI karena memang tidak punya dokumen kewarganegaraan. Walau mereka lahir turun-temurun di Indonesia, tetap saja mereka bukan WNI.

Ada kebijakan ruwet pemerintah yang membuat etnis tionghoa sulit mendapat status WNI saat itu. Baru saat Presiden Abdurahman Wahid memerintah, keruwetan status WNI etnis tionghoa ini diselesaikan.

Karena keributan yang terjadi, bapaknya Joko Tole yang sedang tidur sehabis menarik Minicar (moda transportasi pengganti becak) terbangun. Dan A Bui merepet cerita soal ia diperas Trisno. Akhirnya A Bui disuruh bapak Joko Tole tinggal saja dulu di dalam rumah.

Bapak Joko Tole menyangka sudah tidak ada masalah. Kemudian dia berjalan ke belakang rumah. Ternyata disana sudah ada Trisno menghadang dengan memegang clurit.

“Bapak ini melindungi Cina terus ya,” geram Trisno sambil mengacungkan celurit ke arah Bapak Joko Tole.

Sementara Joko Tole membeku melihat bapaknya dihadang Trisno dengan menenteng celurit. Dia tidak bisa apa-apa sebagai anak remaja. Namun Joko melihat ada tongkat kayu yang biasa dipakai latihan bela diri oleh bapak dan kakaknya.

Tapi dia sudah tidak sempat lagi memberikan tongkat itu sama bapaknya. Joko Tole melihat bapaknya yang baru bangun tidur itu berdiri tak berdaya dihadapan Trisno yang mengangkat celurit.

Posisi bapaknya tidak bisa mundur karena dibelakangnya ada dinding kandang kambing. Yang Joko Tole dengar bapak berkata begini: “Tenang Tris, tenang Tris,”.

Namun ajaib di luar dugaan. Trisno mengurungkan niat menyerang Bapak Joko Tole dengan senjata itu. Trisno malah berbalik arah sambil menggerutu. Terlihat bapak Joko Tole yang tadinya kaget menjadi tenang kembali.

Joko Tole bersyukur sore itu tidak terjadi insiden yang membahayakan bapaknya. Dan ia segera berlari memeluk bapaknya. Tidak berapa lama datang Mas Parlan dan Mas Setiyanto.

Mas Parlan membawa senjata celurit dan sempat berbincang-bincang dengan bapak Joko Tole. Namun Joko Tole melihat bapaknya terus berusaha menenangkan Mas Parlan.

Mas Parlan adalah sahabat karib Bapak Joko Tole yang terkenal berani dan tampaknya ia ingin membela Bapak Joko Tole.

Setelah dewasa, Joko Tole mengingat peristiwa itu sebagai suatu resiko yang bisa menimpa karena sikap bapaknya yang selalu menolong setiap orang yang minta pertolongan.

Saat itu ia menolong A Bui dan sebelumnya juga seperti itu terhadap tetangga orang tionghoa yang diperas oleh Trisno. Rupanya Trisno tidak terima niatnya selalu terhalang oleh bapaknya.

Dia mendengar ketika bapaknya cerita dengan ibu bahwa saat itu bapaknya betul-betul tidak berdaya, tak bisa menghindar.

Yang terpikir oleh bapaknya, sekiranya Trisno menyerang dengan celurit maka hanya satu cara yang mau ditempuh. Yaitu, menangkis senjata itu dengan tangan bersamaan menyerbu menendang sekerasnya kemaluan lawan.

Pasti tangan bapaknya akan terluka. Namun lawannya pun akan terjungkal dengan kemaluan pecah. Bapak Joko Tole memang berlatih beladiri tapi dia bukan jawara yang kebal senjata.

Joko Tole mengingat itu kini. Bahwa melakukan kebaikan juga beresiko. Tetapi walau begitu, bapaknya tidak pernah berhenti mencontohkan berbuat baik pada tetangga dan sesama. Dia mengajarkan lebih baik menanggung resiko daripada tidak berbuat sama sekali.

Catatan Tentang Gang Rukun Kampung Kuburan Mangkok Edisi 3

Tugu Kujang, 19 Maret 2016

Sugeng Teguh Santoso, SH