Monday, 25 November 2024
HomeBeritaKong Acep dan Bang Halim

Kong Acep dan Bang Halim

Kong Acep, usianya sekitar 60 tahun. Seorang kakek yang sudah memiliki dua cucu. Sementara mantunya bernama Halim.

Usia Halim sekitar 37 tahun. Berbadan besar. Sering telanjang dada dan memanggul kayu. Saya memanggilnya Haji Halim sebagai doa agar Bang Halim bisa segera menunaikan ibadah hajinya.

Keduanya, warga Desa Jabonmekar, Kampung Sawah, Kecamatan Parung, Kabupaten Bogor. Mereka saya kenal sejak tahun 2000. Nyaris 17 tahun kami bersahabat.

Kong Acep dan Haji Halim adalah orang Bogor tapi berdialek Betawi. Berbicara blak-blakan. Ceria. Egaliter. Terbuka dengan pihak manapun. Tanpa membedakan asal-usul dan agama.

Keduanya adalah bandar kayu kampung. Kayu Nangka, Duku, Gowok, Manggis, Cemara. Semuanya tersedia. Kayu-kayu yang ditebang oleh mereka berasal dari pohon yang tumbuh di wilayah Parung, Depok dan Sawangan.

Selama 17 tahun saya berbisnis dengan mereka. Orang-orang sederhana dan jujur. Mereka memanggil saya “Boss” karena saya setia membeli kayu mereka selama 17 tahun. Sudah ratusan atau mungkin ribuan kubik kayu sudah saya beli dari mereka.

Walau saya dipanggil “Boss”, tetap saja ucapan “Elu” dan “Gue” terlontar dalam setiap pembicaraan kami. Dengan tanpa jarak.

Kong Acep dan Bang Halim tahu saya berprofesi sebagai pengacara senior. Tapi itu tidak membuat kami menjadi kikuk.

Suatu kali saya melihat Kong Acep meracik Lempuyang, Jahe dan beberapa bahan lain.

“Kong, elu lagi ngeja apa tuh…???

“Ngeja” adalah diksi kaum Betawi Parung dan sekitarnya yang berarti membuat, mengerjakan (kerja).

“Mau tau aja luh. Kalau mau Gua bikinin nih biar bini luh puas,” katanya dengan logat bahasa yang bikin tersenyum.

Saya menjadi paham ternyata Kong Acep sedang meracik jamu “pusaka” yakni untuk stamina pria. Kong Acep memang pengantin baru. Setahun lalu dia menikah lagi. Dia ditinggal istri pertamanya yang wafat.

Sekali waktu, dia dan saya terlibat perdebatan tawar-menawar kayu borongan. Kong Acep berujar pada mantunya Bang Halim: “Tu (mantu) Si Boss mah ini udah mau minterin kita. Lah kayu segunung begini di tawar murah banget,” ujarnya.

“Kebangetan luh, Boss. Masa kayu-kayu botoh (cakep) gini luh tawar murah. Luh mah udah jago sekarang. Susah gua jual kayu dapat untung gede sama luh,” tambahnya.

Diakhir perdebatan, tiga ikat uang dengan lak dari bank sudah berpindah tangan. Dan kami pun tertawa bersama atas kesepakatan yang baik itu.

Saya bersyukur kenal dan menjadi sahabat mereka. Selama 17 tahun waktu yang tidak singkat. Keahlian jenis kayu, ukuran dan kegunaan masing-masing jenis kayu serta cara menaksir harga kayu, dapat saya serap dari mereka.

Termasuk pula menaksir harga kayu baik dalam kondisi pohon tegak maupun dalam bentuk tebangan dan kayu olahan.

Bang Halim juga terinspirasi dengan profesi saya sebagai pengacara. Sehingga anak pertamanya yang lulus dari Pesantren Choirunnisa akhirnya kuliah di UIN Syarif Hidayatullah Ciputat. Mengambil jurusan Hukum  Syariah. IPK-nya juga 3,5. Suatu pencapaian yang baik.

Saya sering datang ke rumah mereka untuk ngobrol di tengah kepenatan pikiran untuk refreshing.

Berbicara dengan Kong Acep selalu menggembirakan. Tidak ada kepalsuan. Blak-blakan. Tidak ada bicara agama yang membuat segegasi. Laku lampah. Perkataan dan perbuatan baik yang menghargai sesama menjadi tujuan. Tempat mereka bagaikan oase yang menyegarkan.

Ditambah lagi oleh istri Bang Halim: “Ceu Aan”. Yang masakannya enak sekali. Dia juga selalu mempersilakan siapapun tamu untuk makan gratis di dapurnya.

 

Salam Damai dari Jabon Parung

 

Sugeng Teguh Santoso, SH

(Sekjen Perhimpunan Advokat Indonesia dan Ketua Umum Front Pembela Indonesia)