Apa yang dimaknai dengan rerouting? Menambah rute atau jalur angkot? Memindahkan rute angkot dari pusat kota ke wilayah pinggiran ? Itu bukan solusi.
Soal kemacetan yang dikaitkan dengan moda transportasi memang rumit dan tidak mudah diurai. Walau demikian, jika mau Walikota Bogor tetap bisa melakukannya dengan beberapa pertimbangan sebagai berikut:
- Luas badan jalan dibandingkan dengan jumlah kendaraan yang beredar: angkot, mobil pribadi, bus, mobil sewa, kendaraan roda 2 adalah tidak sebanding.
- Jumlah angkot yang beredar di jalan secara keseluruhan harus diaudit dengan basis izin rute yang telah dikeluarkan. Disinyalir, satu izin rute dikloning untuk beberapa mobil. Jadi harus ditertibkan.
- Pembatasan kendaraan pribadi, gunakan metode Jakarta “Ganjil-Genap”.
- Bebaskan badan jalan dari penggunaan selain sebagai jalur kendaraan.
Lalu apakah terkait antara rerouting dengan konflik sopir angkot versus ojek online? Tampaknya ada korelasinya.
Rerouting bisa saja menurunkan pendapatan sopir angkot dan juga adanya kemacetan baru. Sementara warga pun belum mendapat sosialisasi dengan baik soal rerouting.
Akhirnya jalan termudah, bagi warga adalah mengakses ojek online yang cepat dan murah. Akibatnya, sopir angkot melampiaskan derita yang dialaminya dengan menyasar pada sesama warga yang adalah sopir ojek online. Kebijakan Walikota Bogor yang sungguh berbuah konflik.
Sosialisasi rerouting, implikasi rerouting tidak cukup dibicarakan dengan stake holder sehingga masyarakatlah yang menjadi korban.
KONFLIK YANG ANEH
Munculnya konflik horizontal antara ojek online dengan sopir angkot memang aneh. Karena antara mereka tidak terdapat persinggungan dan kompetisi secara langsung dalam perebutan penumpang. Kalau yang berkompetisi adalah mobil online dengan taksi konvensional. Ini agak logis.
Sekali lagi. Sesungguhnya tidak terdapat korelasi persaingan langsung antara angkot dengan ojek online.
Angkot merupakan moda transportasi murah. Jarak jauh nilainya tetap loh. Tetapi memang agak lama. Ngetem. Tidak nyaman. Pada jarak yang sama ojek online pasti lebih mahal.
Karenanya, harus diwaspadai adanya pihak ketiga yang menunggangi atau mengail di air keruh untuk memunculkan kondisi instabilitas dan rawan keamanan.
TIDAK BISA LEWAT PENCITRAAN
Apapun sebabnya. Penyelesaian konflik ini oleh Walikota Bogor tidak bisa dengan sekali lewat. Apalagi kalau cuma pencitraan saja. Harus intensif dicari akar masalahnya. Apakah rerouting dibatalkan atau ada langkah-langkah lain.
Karena konflik ini berawal dari kekecewaan sopir angkot yang hasilnya tidak memadai. Apalagi ada rerouting yang belum jelas kemanfaatannya untuk apa dan siapa.
Situasi sosial seperti ini yang tidak ada jalan keluarnya bagi sopir angkot maka memerlukan kanalisasi.
Kanalisasi yang muncul, melampiaskan pada ojek online karena mereka banyak berseliweran di depan mata sopir angkot. Juga dalam situasi api dalam sekam, insiden kecil senggolan di jalan bisa memicu bentrok besar.
Namun sekali lagi. Sebenarnya tidak terdapat korelasi persaingan langsung antara angkot dengan ojek online.
Angkot tetap merupakan moda transportasi murah. Jarak jauh nilainya sama. Sementara, pada jarak yang sama ojek online pasti lebih mahal.
Karena itu, kalau konflik ini masih saja membesar, maka patut diwaspadai ada yang “nimbrung”. Menunggangi untuk instabilitas dan rawan keamanan yang bertujuan pendiskreditan pada pemerintah.
Salam Damai
Sugeng Teguh Santoso, SH
(Sekretaris Jenderal DPN Perhimpunan Advokat Indonesia dan Ketua Yayasan Satu Keadilan)